Dari Perawat Menjadi Jurnalis Warga: Perjalanan Menulis Sepanjang Hayat - SAVERINUS SUHARDIN

Latest

Literasi Keperawatan

Kamis, 04 Desember 2025

Dari Perawat Menjadi Jurnalis Warga: Perjalanan Menulis Sepanjang Hayat

Webinar Jurnalistik BEM STIKes Maluku Husada pada Kamis (19/12/2024) lalu

Saya bersyukur bisa berbagi pengalaman seputar dunia jurnalistik kepada BEM STIKes Maluku Husada pada Kamis (19/12/2024) lalu. Tapi, saya melakukannya antara yakin dan tidak, sebab saya perawat tapi bicara soal kewartawanan. Kenapa hal itu bisa terjadi?

***

Saya mungkin sudah menyinggung beberapa informasi pada tulisan #JalanPagi sebelumnya, bahwa ketika tahu ada kesempatan untuk menjadi dosen, maka saya harus bisa menulis dengan baik.

Maka ketika melanjutkan kuliah di Surabaya pada tahun 2013, saya begitu gila belajar di berbagai kelas atau seminar tentang kepenulisan.

Tapi, sebelum keinginan belajar menulis itu meledak-ledak dalam dada, sekitar 2010 atau setelah itu, saya mendapat sedikit uang beasiswa yang tidak diketahui orang tua, sehingga saat itu saya leluasa menggunakannya untuk membeli Nokia E63.

Itu gawai mentereng bagi saya waktu itu, sebab fungsinya bisa juga untuk mengakses internet. Pada 2019, masa awal kuliah D3 Keperawatan di Akper Maranatha Kupang, urusan akses internet masih susah. Kami mesti ke warnet jika ingin terhubung dengan informasi lebih luas.

Maka ketika saya bisa mendapatkan HP yang bisa terkoneksi dengan jaringan internet, itu suatu kemewahan.

Saya lupa bagaimana persisnya sehingga waktu itu bisa tahu tentang Kompasiana. Ketika saya membaca beberapa tulisan di sana, kayaknya mereka seperti bercerita biasa saja. Saya senang dengan tipikal tulisan seperti itu, makanya betah membuka situsnya berlama-lama menggunakan Nokia E63.

Di situlah saya awal mula berkenalan dengan tulisan Pepih Nugraha. Ia orang Sunda, sehingga para Kompasianers (blogger atau orang yang menulis di Kompasiana) sering menyapanya dengan panggilan Kang Pepih. Saat itu ia menjabat sebagai pimpinan Kompasiana dan sering sekali membuat tulisan yang berkaitan dengan motivasi menulis.

Saya pelan-pelan terpikat dengan tulisannya, sehingga selalu ada keinginan berada di Kompasiana. Selanjutnya tidak hanya tulisan Kang Pepih, tapi saya juga membaca tulisan dan berkenalan dengan ragam tulisan dari Kompasianers lain.

Dari Kang Pepih saya jadi tahu, setiap orang bisa dididik jadi penulis. Dan urusan menulis tidak harus canggih-canggih, sekadar tulisan dengan gaya percakapan sehari-hari juga bisa.

Ketika saya membaca tulisan Kompasianers lain, mereka juga hanya cerita pengalaman saja di situ. Sejak saat itu saya mulai berpikir, kayaknya saya juga bisa menulis seperti itu.

Kang Pepih yang sudah bertahun-tahun menjadi wartawan Kompas juga mengenalkan pada saya melalui tulisannya tentang "citizen journalism". Ia bilang, setiap orang, warga biasa, siapa saja, bisa jadi jurnalis. Jurnalis warga namanya.

Itu informasi yang menarik bagi saya, apalagi itu disampaikan oleh salah satu wartawan kawakan Kompas. Maka saya mulai menanam benih impian menjadi jurnalis warga itu dalam pikiran.

Begitu saya merantau ke Surabaya pada tahun 2013, akses internet semakin mudah didapatkan. Saya semakin mudah mencari informasi seputar dunia kepenulisan. Saya pun membuat akun Kompasiana dan mulai menulis tentang apa saja.

Bersamaan dengan itu, saya juga tahu, ternyata setiap orang bisa buat blog gratis di Blogspot. Maka saya juga buat dan menulis sembarangan di sana. Mulai dari pengalaman kuliah, cerita perjalanan, kejadian aneh dan unik di kos-kosan, dan segala macam informasi.

Hasilnya sudah pasti biasa saja, tapi saya terus saja menulis sambil sesekali belajar pada orang lain melalui kelas atau seminar kepenulisan. Saya semakin semangat ketika beberapa teman mulai beri tanggapan positif dan hal itu membuat saya gas terus untuk berlatih.

Selain dua blog itu, saya juga mulai keranjingan menulis di Facebook. Awalnya saya hanya membagikan tautan tulisan di FB, tapi sepertinya orang enggan mengklik, sehingga tidak bisa memberi tanggapan langsung mengenai isi tulisan.

Beda ketika saya langsung menulis di FB, teman-teman bisa menikmatinya tanpa harus klik tautan dan keluar sebentar dari aplikasi pertemanan itu. Maka, saya memutuskan lebih sering menulis di FB saja.

Selesai kuliah, saya pulang ke Kupang pada tahun 2016 dan saya tidak berhenti berlatih menulis. Kemudian muncul ide #JalanPagi, lalu berani mengirim tulisan ke media massa resmi setelah bergaul dengan penulis lain di berbagai komunitas.

Ketika tahu tulisan sudah layak terbit di media massa (koran), saya makin rajin berlatih menulis dan mengirimkannya di berbagai media massa. Sebagian besar berhasil terbit. Lalu ada teman mengajurkan buat buku kumpulan tulisan yang sudah terbit di media massa itu, maka lahirlah "Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat."

Saya juga coba-coba mengirim karya di berbagai proyek buku kumpulan tulisan (antologi) bersama penulis lain. Pendek kata, segala macam kegiatan yang berhubungan dengan menulis terus saya lakukan selain berfokus pada tugas bidang keperawatan.

***

Tahun 2019 saya kembali ke Surabaya untuk lanjut kuliah dan saya terus memanfaatkan waktu luang untuk mengembangkan kemampuan menulis. Saat itu di website fakultas tempat saya kuliah bisa menerima tulisan mahasiswa terkait berbagai kegiatan kampus.

Lalu, saya coba mengirim hasil liputan saya sehabis kegiatan kuliah umum. Pak Dimas, pegawai bidang IT yang mengurus website itu, mengirim pesan setelah menerbitkan liputan pertama saya itu, "Mas, nanti kirim lagi ya..."

Saya pun makin semangat, ada kegiatan apa saja, saya liput dan kirim ke Pak Dimas. Setelah terbit, saya bagikan tautannya di grup WA teman angkatan dan mereka mulai menyebut saya: Jurnalis M12 (M12 itu nama angkatan kami, singkatan dari Magister Keperawatan angkatan ke-12).

Selain aktif menulis di website fakultas, saya juga mencoba kirim beberapa hasil liputan ke Humas Unair, sehingga bisa ditampilkan di website utama kampus.

Sementara itu, saya juga coba melihat peluang di media massa yang ada di Surabaya, lalu menemukan ada rubrik "Citizen Journalism" di Surya Pos. Lalu saya coba mengirim salah satu hasil liputan, langsung terbit.

Saya makin rajin mengirim tulisan ke sana setelah itu. Beberapa berhasil terbit, sisanya dikembalikan karena dinilai tidak ada nilai berita, tulisan buruk, dan alasan lainnya. Saya tidak baper, tinggal alihkan tulisan gagal itu ke media yang lain.

***

Suatu hari, saya tiba-tiba di telepon oleh Wadek I FKp Unair yang saat itu dijabat oleh Pak Kusnanto. Ia meminta saya ke ruangannya, ada hal penting yang mau dibicarakan.

Saya langsung gugup, ada masalah apa lagi ini? Begitu sampai di sana, Pak Kusnanto bercerita perihal rekomendasi dari hasil Audit Mutu Internal (AMI) fakultas.

Ia menjelaskan, kalau publikasi ilmiah hasil penelitian di fakultas keperawatan sudah tidak diragukan lagi. Tapi, tim AMI universitas menyarankan perlu adanya turunan hasil penelitian tersebut dalam bentuk tulisan populer, sehingga bisa dibaca atau dinikmati masyarakat umum.

"Mas Saver ada saran?"

Saya makin tidak tenang, jantung berdegup tidak beraturan, karena saya tidak yakin harus menjawab apa. Satu-satunya ide yang ada dalam kepala saya saat itu, bikin pelatihan menulis ilmiah populer. Saya bilang, nanti kita undang narasumber dari pengelola rubrik opini Jawa Pos dan mungkin dari pihak lain.

"Ya sudah, kamu siapkan konsepnya," kata Pak Kusnanto lebih lanjut. "Jangan lama-lama, kita langsung eksekusi idenya."

Saya bilang siap dan mungkin terlihat yakin dan antusias di hadapan dosen saya itu, tapi kemudian linglung ketika pulang ke kos-kosan. Apakah saya bisa memenuhi ekspektasi beliau? Ini kampus dengan nama besar, apakah saya pantas mengerjakan proyek ini?

Karena sudah menyatakan sanggup, maka mau tidak mau tetap saya kerjakan. Saya beruntung sebelumnya ada pengalaman mengelola pelatihan bersama beberapa komunitas literasi yang pernah saya ikuti.

Keesokan harinya, saya menghadap lagi ke Pak Kusnanto. Saya jelaskan konsep lebih detail. Intinya, saya mengusulkan bahwa pelatihan menulis itu sebagai titik awal. Selain itu, kita perlu menyiapkan kanal khusus untuk menampung tulisan hasil latihan para peserta setelah pelatihan selesai.

Saya juga sudah memikirkan model kanal tersebut, mulai dari nama, filosofi nama, persyaratan teknis untuk bisa menulis di sana, dan poin pendukung lainnya.

Begitu saja jelaskan ke Pak Dimas di bagian IT, dia menyiapkan halaman khusus di website FKp Unair tidak sampai satu hari. Nama kanalnya LIHAT, akronim dari: Literasi Hidup Sehat.

Nama LIHAT itu saya dapatkan tanpa sengaja ketika sedang jongkok di toilet sambil memikirkan tugas tambahan dari Pak Kusnanto itu. Saya lega, karena semua konsep yang saya tawarkan diterima hampir 90%, hanya ada satu-dua penyesuaian atau perbaikan kecil darinya.

Pelatihan berjalan lancar, rubrik LIHAT juga sudah siap, tapi semua peserta yang sudah mengikuti pelatihan belum mengirimkan tulisannya. Mau tidak mau, saya menulis rutin tiap minggu satu artikel kesehatan. Saya lakukan itu untuk memberikan contoh bagi yang lain.

Setelah saya menulis 10 artikel di sana, beberapa mahasiswa lain mulai ikut mengirim tulisan juga. Setelah itu pandemi COVID-19 datang, saya kembali ke Kupang.

Sebelumnya, Pak Kusnanto juga meminta saya untuk ikut membimbing mahasiswa yang tergabung dalam "Airlangga Nursing Journalist". Mereka semacam wartawan internal kampus yang bertugas meliput dan memublikasikannya di website maupun akun media sosial fakultas.

Tapi, lagi-lagi karena adanya pandemi COVID-19, saya tidak bisa menjalankan tugas/kepercayaan itu dengan efektif. Apalagi selama mengikuti kuliah daring dari Kupang, NTT, itu sudah masa-masa di mana saya fokus pada urusan penelitian dan penulisan tesis.

Tidak lama kemudian, kami mendengar Pak Kusnanto telah mendapatkan jabatan fungsional sebagai profesor. Saya ikut bangga dan setelah itu saya menyapanya: Prof. Kusnanto.

Tapi tidak lama setelah kabar gembira itu kami dengar, ada kabar baru lagi kalau Prof. Kusnanto sedang dirawat di ICU. Menurut cerita, beliau kena COVID-19 dan virus itu pada akhirnya merenggut nyawa salah satu guru kami yang baik itu.

Saya mengikuti prosesi pemakamannya dari Kupang, melalui Zoom. Saya memang merasa kehilangan, tapi tidak ada pikiran untuk menangis. Hanya baru berapa menit acara berlangsung, ada air yang mengalir begitu saja di pipi. Saya berupaya menghapusnya, tapi air mata itu seperti beranak pinak untuk beberapa saat.

Saya memiliki cukup banyak pengalaman personal dengan almarhum Prof. Kusnanto. Ketika studi S1 Keperawatan di Unair, ia merupakan pembimbing pertama saya ketika mengerjakan skripsi.

Proses bimbingan yang panjang membuat ia cukup mengenal saya. (Publikasi hasil skripsi itu bisa akses di sini: https://e-journal.unair.ac.id/JNERS/article/view/1341). Setelah urusan skripsi selesai, ia sempat mengajak saya untuk terlibat dalam penelitiannya. Saya ikut bantu turun ke lokasi penelitian untuk mengumpulkan data.

Lalu ketika saya lanjut S2 di sana lagi, beliau sudah mengenal saya lebih baik. Saya merasa kami sudah cukup akrab. Makanya ketika beliau meminta saya mengurusi pelatihan menulis ilmiah populer, proses koordinasi dan komunikasinya sudah lebih cair.

Setelah kami berhasil membuat kanal "LIHAT" (https://ners.unair.ac.id/site/lihat/) yang tetap eksis hingga saat ini, beliau sempat mengajak saya untuk berkolaborasi untuk melakukan penelitian maupun publikasi ilmiah. Namun, sayangnya Prof. Kusnanto telah tiada. Tapi, nama dan kebaikannya terus saya kenang.

***

Selain itu, teman-teman angkatan saya juga sering meminta bantuan untuk meliput kegiatan mereka. Misalnya ada kegiatan pengabdian masyarakat yang salah satu syarat penilaiannya harus ada publikasi media massa, maka mereka menghubungi saya.

"Mas Saver, tolong bantu liput."

Saya selalu berupaya untuk membantu semuanya, selagi saya bisa melakukannya. Pernah suatu kali, ada teman-teman dari peminatan keperawatan jiwa yang hendak mengikuti kegiatan Jambore Kesehatan Jiwa. Mereka minta saya ikut juga untuk bantu meliput kegiatan tersebut.

Saya selalu siap. Dan atas jerih payah itu, mereka biasanya mengapresiasi saya dengan bayaran 4 M: mantap, mas; makasih, mas.

Pendek kata, semua teman angkatan M12 telah mengenal saya sebagai jurnalis, termasuk Pak Idham Soamole. Kelak setelah lulus kuliah, ternyata Pak Idham--teman kuliah saya itu--mendapat amanah sebagai Wakil Ketua Bidang Kemahasiswaan di STIKes Maluku Husada.

Mungkin ia berpikir, mahasiswa/i yang ia bina di sana perlu memiliki kemampuan dan keberanian menulis juga dan ia mengingat temannya dulu ada yang dipanggil "Jurnalis M12".

Atau mungkin dia juga bisa kasihan dengan saya, eh, teman saya di NTT kelihatannya tidak ada unggahan seputar kegiatan menulis lagi, maka sebaiknya saya kasi kerjaan ke dia saja.

Apapun alasan di baliknya, pada intinya Pak Idham tiba-tiba menelepon saya. Kami berdiskusi panjang perihal pengembangan mahasiswa.

Diskusi itu diakhiri dengan permintaan kepada saya untuk berbagi pengalaman menulis dengan mahasiswa/i-nya yang tergabung dalam BEM STIKes Maluku Husada.

Saat kegiatan yang berlangsung secara daring melalui Zoom itu dimulai, saya lebih banyak bercerita pengalaman yang sudah saya tuliskan di atas. Saya tinggal melampirkan bukti, entah foto maupun tautan berita/tulisan.

Selain apa yang sudah saya tulis di atas, saya juga tambahkan bahwa, setelah selesai S2 dan berpisah dengan Pak Idham dan kawan-kawan lain, sampai di Kupang saya juga masih terus berlatih menulis.

Saya sempat menulis cukup lama di rubrik Pojok Sehat arnolduswea.com (https://arnolduswea.com/category/pojok-sehat/); lalu pernah bikin kanal khusus #JalanPagi di sekolahtimur.com (https://www.sekolahtimur.com/category/feature/jalanpagi/); kemudian cukup lama mengelola website PPNI NTT (https://ppnintt.org/).

Saya lebih banyak bercerita pengalaman saja. Saya memang menyelipkan beberapa keterampilan teknis yang perlu dikuasai dalam proses berlatih menulis. Tapi, saya lebih banyak menganjurkan mereka untuk rajin-rajin membaca saja.

Kalau semua mahasiswa rajin membaca, pasti suatu saat ia tergerak untuk menulis. Kalau sudah rajin membaca dan berani berlatih menulis, selain ia bisa menghasilkan tulisan bagus; ia juga bisa menjadi pembicara publik yang bagus; dan semakin mudah mempelajari informasi/pengetahuan dan keterampilan baru.

Saya terus mengulang dan menekankan pentingnya kebiasaan membaca, apalagi mahasiswa. Saya pun saat ini masih terus membaca, terus belajar menulis, dan berkomitmen menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Tidak ada pelatihan menulis, apalagi hanya dalam bentuk webinar 2-3 jam, yang bisa langsung menghasilkan penulis bagus. Tidak ada! Bahkan jika pelatihan itu diasuh oleh dedengkot penulis sekalipun. Orang hanya bisa jadi penulis kalau ia rajin membaca, rajin berlatih tanpa henti. Selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar