Hayalan Tinggi Seorang Penulis Pemula: Satu Tulisan Koran yang Saya Kira Bisa Menghentikan Bunuh Diri di NTT - SAVERINUS SUHARDIN

Latest

Literasi Keperawatan

Senin, 01 Desember 2025

Hayalan Tinggi Seorang Penulis Pemula: Satu Tulisan Koran yang Saya Kira Bisa Menghentikan Bunuh Diri di NTT

Tulisan yang pernah terbit di Victory News edisi Jumat, 29 September 2017

Ketika tahu tulisan ini terbit di koran pada Jumat, 29 September 2017 silam, saya melayang seperti plastik kecil yang diterbangkan angin; saya tidak kuasa menahan diri untuk membagikan fotonya di berbagai akun media sosial, membawa korannya ke mana-mana sambil tunjukkan ke orang, dan merasa diri telah melakukan suatu pekerjaan mulia.

Setiap kali ada kesempatan berbagi pengalaman menulis, saya pasti ceritakan tulisan ini. Saya mulai rutin berlatih menulis di media sosial sejak 2013 dan baru berani mengirimkan tulisan ke media massa resmi (koran) pada 2017.

Sewaktu saya belajar dari orang, ada anjuran untuk menulis topik yang sedang hangat dibicarakan masyarakat kalau mau tulisan kita terbit di media massa. Dan pada saat itu, ada momentum yang pas dengan situasi saya.

Waktu itu, kabar mengenai kejadian bunuh diri di media massa di wilayah NTT cukup menarik perhatian banyak orang. Kebetulan, saya juga sedang diberi tugas di tempat kerja untuk mengajar mata kuliah Keperawatan Jiwa yang salah satu topiknya tentang bunuh diri.

Saya tinggal merakit masalah itu dengan sedikit tawaran solusi berdasarkan ilmu keperawatan jiwa yang sudah saya pelajari. Dari sekian banyak informasi yang penting, saya hanya fokus pada ajakan untuk menyadari tanda-tanda orang di sekitar kita yang berisiko bunuh diri.

Memang tidak mudah dikenali, tidak kasat mata, dan bisa dibilang penuh misteri. Meski demikian, para ilmuwan terdahulu telah melakukan berbagai pengamatan, hingga akhirnya mengeluarkan beberapa anjuran yang bisa dipakai.

Sekali lagi, tanda dan gejalanya sangat samar. Tidak tersurat, tapi tersirat dalam tingkah laku dan ucapan. Jadi, butuh kepekaan dari orang-orang terdekat mereka.

Orang yang mengungkapkan rasa putus asa, menyampaikan kata/kalimat ancaman untuk akhiri hidup, perilaku mengasingkan diri yang tidak biasa, dan serupa dengan itu perlu diwaspadai.

Bahkan dalam buku Kesehatan Jiwa yang saya baca, ciri seperti itu sudah termasuk dalam kondisi gawat darurat psikologis.

Kalau gawat darurat kondisi fisik, kita bisa lihat dengan jelas seperti apa dampak cedera: ada luka, perdarahan, penurunan kesadaran, dll. Gawat darurat masalah kejiwaan memang samar-samar, tapi penanganannya mestinya sama: harus ditangani segera untuk menyelamatkan nyawa.

Kalau saja kita peka dengan tanda-tanda yang tidak jelas itu pada orang yang punya ide/niat bunuh diri, harusnya kita juga bisa melakukan penyelamatan sebelum hal itu terjadi. Ada banyak cara, tergantung kondisi masing-masing.

Saran paling umum: kita tidak boleh biarkan orang berisiko itu tinggal atau beraktivitas seorang diri. Temani dia selalu sembari mencari pertolongan atau dukungan ke orang lain. Tujuannya meyakinkan orang berisiko itu bahwa dia sejatinya berguna dan berharga.

Dia sedang dalam kondisi gawat darurat, sudah pasti butuh bantuan total dari orang-orang terdekat.

Itu intisari solusi yang saya tawarkan dalam tulisan di koran itu dulu. Setelah saya pikir-pikir, saran itu memang mudah disampaikan, hanya tidak mudah dijalankan.

Tapi, kamu tahu, setelah tulisan itu terbit, saya membayangkan bahwa tulisan itu telah dibaca mayoritas masyarakat NTT. Bahkan karena saya bagikan fotonya di media sosial, saya merasa warga dunia sudah tahu semuanya.

Tulisan itu kemudian saya masukkan juga dalam buku kumpulan tulisan “Pada Jalan Pagi yang Sehat Terdapat Inspirasi yang Kuat”. Saya terus membayangkan dan semakin yakin: informasi yang bermanfaat itu telah dibaca jutaan umat manusia di seluruh dunia.

Kalau semua sudah baca, pikir saya, maka semua orang pasti tahu. Kalau sudah tahu, pasti mau melakukan yang terbaik. Kalau semua sudah tahu dan mau… maka kejadian bunuh diri tidak mungkin terjadi lagi.

Kenapa saya membayangkan seperti itu?

Karena selama belajar menulis, saya hampir tuli saking banyaknya orang bilang bahwa efek sebuah tulisan itu dahsyat. Bisa setajam pisau, secepat kilat, sekuat bom atom dalam memengaruhi pikiran orang.

Maka saya berusaha rajin menulis agar bisa membuat tulisan sehebat itu.

Tapi kini, akhir 2025, ketika media sosial kita kembali ramai dengan kabar bunuh diri, hoaks, ujaran kebencian, perundungan… saya sadar hayalan saya dulu terlalu tinggi.

Kalau kamu pernah merasakan putus asa berat, atau pernah melihat orang terdekat menunjukkan tanda-tanda itu, cerita di kolom komentar ya. Kita saling jaga. Kamu tidak sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar