Saya pernah ditugaskan PPNI NTT untuk menghadiri sebuah acara bernama COLBANO NTT (Collaborative Learning Board & Annual Forum of Oncology) pada 20-21 September 2024 di Hotel Harper Kupang.
Awalnya saya pikir hanya sekadar hadir, kasih tunjuk muka, makan siang, lalu pulang. Eh, begitu seremonial pembukaan dimulai, saya diminta duduk di bagian paling depan bersama tamu penting lainnya. Dan yang bikin saya kaget, ternyata ada kata sambutan dari perwakilan PPNI NTT.
Saya naik ke atas panggung sambil terus berpikir, mau bicara apa? Saat itu saya hanya memikirkan satu kata kunci: kanker. Beruntung saya punya beberapa pengalaman berinteraksi dengan penyintas kanker saat melakukan penelitian, sehingga tinggal menceritakan ulang beberapa poin penting.
Saya bercerita tentang pengalaman membantu teman yang sedang melakukan penelitian terkait kanker pada Juni 2014 di Surabaya. Teman saya sebagai peneliti utama itu sedang melakukan pendekatan self help group dan memantau respons psikologis para penyintas kanker.
Selama proses tersebut, tanpa sengaja saya berkenalan dengan seorang ibu yang kebetulan pernah tinggal cukup lama di Kupang, NTT. Bahkan, ia pertama kali didiagnosis mengalami kanker ketika masih berdomisili di NTT.
Tapi karena ia merasa divonis menderita kanker, langsung benci dengan perawatan medis. Ia mulai melakukan percobaan dari satu pengobatan alternatif ke metode lainnya.
Pertama, ia memulai perjalanan mencari pengobatan non-medis itu di berbagai wilayah di NTT. Segala macam daun coba ditempel pada area payudara yang terus membengkak. Segala macam minyak digosok, saripati berbagai akar pohon diminum, dan metode lainnya.
Karena tidak ada perubahan, ia terbang ke Jawa. Di sana ia juga masih mencari pengobatan lain, intinya jangan di rumah sakit. Katanya, ia pernah mendapat terapi lintah juga—lintah itu diletakkan di area payudara yang sudah luka dan bernanah, dengan harapan lintah akan mengisap semua yang disebut "darah kotor".
Apakah efektif? Tidak sama sekali. Ia mengaku semakin lemah dan tersiksa menahan nyeri. Dan ketika kondisinya semakin parah, barulah ia mau berobat ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Ia kembali pasrah pada pengobatan medis.
Saat saya bertemu dengannya, kondisinya sudah jauh lebih baik. Ia mengaku semua lukanya sudah sembuh, hanya ia tetap berobat terus untuk menekan sel kanker yang masih ada dalam tubuhnya. Ia mengaku kualitas hidupnya semakin baik bila dibandingkan tanpa penanganan medis.
Pengalaman itu pernah saya tulis di catatan harian saya di Kompasiana. Kalau Anda ada waktu dan ingin membaca lebih detail, silakan klik di sini: Curhatan Ibu Penderita Kanker.
Setelah itu, saat melakukan penelitian untuk skripsi, saya juga mengambil topik tentang kanker. Saya melakukan percobaan sebuah metode psikologis yang bernama Acceptance and Commitment Therapy (ACT) untuk meningkatkan kualitas hidup penderita kanker.
Selama proses penelitian itu, saya bertemu dan mewawancarai 12 penyintas kanker. Mereka rata-rata pernah melakukan percobaan mencari pengobatan alternatif terlebih dahulu. Tapi begitu tidak ada perubahan, barulah mereka kembali mencari pengobatan medis.
Orang yang mencari metode pengobatan di luar fasilitas kesehatan, rata-rata belum menerima dirinya menderita kanker. Karena tidak ikhlas menerima kondisinya, mereka cenderung abai dengan proses pengobatan yang baik dan benar. Selanjutnya, ketika kondisi kesehatannya makin berat, barulah mereka cari pertolongan ke fasilitas kesehatan.
Karena itu, pendekatan ACT itu sangat penting. Metode itu mendukung para penyintas kanker untuk menerima kondisinya (acceptance). Ketika sudah menerima kenyataan bahwa ia memang menderita kanker, maka komitmen (commitment) untuk berobat jauh lebih tinggi. Itulah inti dari pendekatan ACT. Hasil penelitian itu bisa Anda baca di sini: Hasil Penelitian ACT.
Pola yang saya temukan pada dua pengalaman di atas juga terkonfirmasi melalui penelitian Supa Pengpid & Karl Peltzer (2018). Penelitian mereka melibatkan 31.424 responden dengan pendekatan cross-sectional lewat program Indonesia Family Life Survey tahun 2014-2015.
Hasil penelitian yang telah dipublikasikan di Jurnal Complementary Therapies in Clinical Practice itu menunjukkan bahwa sebagian besar penyintas kanker lebih memilih obat tradisional sebagai keputusan pertama daripada terapi medis. Bila Anda penasaran, silakan klik di sini: Complementary Therapies in Clinical Practice.
Berdasarkan pengalaman dan data hasil penelitian tersebut, saat memberikan kata sambutan saya menekankan, tenaga kesehatan punya tantangan besar untuk meyakinkan masyarakat tentang pentingnya mencari bantuan pengobatan yang tepat.
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang banyak bersentuhan langsung dengan pasien. Karena itu, pemahaman tentang pencegahan dan penanganan kanker perlu diketahui dengan baik, sehingga ketika memberikan edukasi pada pasien jauh lebih meyakinkan.
Sebagai tenaga kesehatan, kita harus memperkuat kolaborasi. Apalagi pendekatan terbaik untuk penanganan kanker saat ini menggunakan People (patient)-centred care (PCC). Pasien merupakan pusat atau inti dari perawatan.
Pendekatan PCC memungkinkan semua pihak memberi kontribusi sesuai keahlian masing-masing. Dokter, perawat, ahli farmasi, dll., saling bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan penyintas kanker.
Penanganan di luar aspek medis pun tetap dibutuhkan sesuai kebutuhan pasien. Sebenarnya, pengobatan tradisional juga tetap dianjurkan, tapi bukan sebagai alternatif (pengganti terapi medis), melainkan sebagai terapi komplementer yang bisa mendukung efektivitas perawatan.
Di akhir kata sambutan itu, saya mengajak perawat untuk terus melakukan perannya sebagai edukator kesehatan. Dan kepada khalayak umum, saya menyatakan perawat siap berkolaborasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kanker di NTT.
***
Pada 04 Februari 2025, kita merayakan Hari Kanker Sedunia. Hari ini, 15 Februari 2025, kita juga merayakan Hari Kanker Anak Sedunia. Bisa dibilang, Februari, yang sering disebut bulan kasih sayang, menjadi momentum bagi kita untuk menunjukkan kepedulian pada masalah kanker.
Masalah kanker itu nyata, ada di mana-mana, dan mungkin ada di sekitar kita. Data dari WHO Wilayah Asia Tenggara melaporkan ada 2,4 juta kasus kanker baru pada tahun 2022. Dan khusus untuk kanker anak, diperkirakan ada 400.000 kasus per tahun di seluruh dunia.
Masalah kanker juga ada di NTT. Ketika saya mengikuti COLBANO NTT 2024, kegiatan yang diselenggarakan oleh dokter yang tergabung dalam POI (Perhimpunan Onkologi Indonesia) NTT itu membuka banyak data dan cerita mengenai tantangan dan peluang penanganan kanker di NTT.
Para dokter yang tergabung dalam IDI (Ikatan Dokter Indonesia) maupun POI NTT mengakui rata-rata pasien kanker yang datang ke RS sudah berada pada stadium lanjut atau kondisi yang sudah parah.
Ketua POI NTT, dr. Heri Sutrisno, Sp.PD, KAHOM, bercerita bahwa sekitar 10 tahun lalu, penanganan kanker di NTT sangat sulit. Ada banyak keterbatasan, mulai dari sumber daya peralatan medis sampai SDM kesehatan yang minim. Biasanya pasien kanker dirujuk ke RS di Jawa atau Bali, atau pasrah saja tanpa penanganan memadai.
Tapi saat ini, lanjut dr. Heri, sudah banyak perubahan. Rumah sakit makin bertambah dengan fasilitas jauh lebih lengkap. Dokter ahli pun jumlahnya terus bertambah, sehingga penanganan kanker di NTT sudah jauh lebih baik. Unit kemoterapi sudah ada, tindakan operasi tersedia, dan fasilitas radioterapi diperkirakan akan tersedia beberapa waktu mendatang.
Pendek kata, fasilitas kesehatan untuk penanganan kanker di NTT sudah cukup memadai. Tinggal bagaimana kita memanfaatkannya dengan baik. Memang, fasilitas itu lebih banyak terkonsentrasi di Kota Kupang, sedangkan di daerah kabupaten masih sulit, tapi setidaknya lebih dekat daripada harus ke Jawa atau Bali.
Berkaitan dengan Hari Kanker Sedunia, informasi bisa dibaca di worldcancerday.org. Untuk Hari Kanker Anak Sedunia, silakan akses internationalchildhoodcancerday.org.
Saya juga pernah menulis seputar masalah kanker sebelumnya:
-
Artikel "Kanker: Pilih Terapi Medis atau Alternatif?": arnolduswea.com
-
Artikel "Rumor Tumor: Jangan Sampai Kena Pisau": arnolduswea.com
Baiklah, teman-teman, itulah beberapa cerita saya seputar kanker. Salam #JalanPagi! Kita semua semakin sehat, kuat, bersemangat, dan bermanfaat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar