Penyunting: Misteri Panggilan BKSDA NTT dan Hadiah Macbook Impian - SAVERINUS SUHARDIN

Latest

Literasi Keperawatan

Rabu, 03 Desember 2025

Penyunting: Misteri Panggilan BKSDA NTT dan Hadiah Macbook Impian

Saverinus Suhardin (penulis) bergaya dengan Macbook sebagai hasil kerja penyuntingan buku
Penulis bergaya dengan Macbook hasil jerih payah menyunting buku

Pada suatu hari di bulan Oktober 2020, ketika saya baru saja mengikuti kuliah daring dan menemani Gibran bermain sambil leyeh-leyeh di lantai, ada sebuah telepon dari nomor baru. Saya tidak segera mengangkatnya. Saya masih ingin menikmati kemewahan bermalas-malasan selagi masa pandemi.

Saya mulai kuliah Magister Keperawatan di FKp Unair Surabaya pada Agustus 2019, lalu pada akhir tahunnya kita semua terkena pandemi COVID-19, sehingga sejak awal 2020 hingga wisuda pada akhir 2021, semua aktivitas perkuliahan dilakukan secara daring dan saya melakukannya dari Baumata Barat.

Selama masa pandemi itu, selain kuliah, aktivitas saya di rumah hanya menemani Gibran bermain atau sesekali mengantar dan menjemput istri di tempat kerjanya.

Seingat saya, hari ketika ada telepon dari orang baru itu, saya baru selesai mengikuti sebuah sesi kuliah. Entah ada presentasi tugas atau ada tugas baru yang harus dikerjakan lagi waktu itu, intinya saya agak stres, makanya struktur tubuh saya hanya tersusun atas rasa lelah dan malas.

Setelah dering telepon itu mati, baru saya penasaran. Saya coba cek, siapa orang di balik nomor baru itu. Tidak lama kemudian, sebuah pesan masuk. Dari nomor baru itu.

Ia memperkenalkan diri dan katanya ia berasal dari sebuah instansi pemerintah yang berkantor di Kota Kupang, dan ia masih minta izin untuk menelepon lagi. Saya langsung bangun dari lantai, membaca beberapa kali pesan itu. Setelah yakin itu benar adanya, saya segera membalasnya.

Silakan telepon, kata saya, tapi sejak saat itu perasaan saya mulai tidak tenang. Apakah saya telah melakukan kesalahan?

Telepon berdering lagi, lalu kami mulai berbicara. Dari seberang bicara cukup panjang. Intinya ada urusan seputar penulisan dan ia meminta saya untuk bertemu dengan pimpinannya pada keesokan harinya.

Saya meresponsnya dengan antusias dan menyatakan diri siap. Setelah telepon itu mati, saya juga sempat ragu, jangan sampai ini penipuan?

Maka setelah istri pulang kerja, saya tidak menceritakan secara detail kepadanya. Saya hanya bilang kalau esok pagi saya harus bertemu dengan seseorang di suatu tempat, dan itu pertemuan penting sehingga saya harus datang, jadi tolong atur agar jangan sampai saya diganggu.

Buku "Ring of Beauty" yang disunting oleh Saverinus Suhardin
Tampilan luar buku "Ring of Beauty"

Pagi-pagi sekali saya sudah siap, tentu saja setelah #JalanPagi. Rapi, wangi, dan telah siap amunisi. Sejak malam saya sudah menyiapkan semua portofolio atau bukti-bukti rekam jejak saya sebagai penulis. Saya sadar diri, saya masih penulis amatir, tapi pertemuan pertama harus bisa memberi impresi yang meyakinkan.

Saya tiba di kantor yang terletak di samping Kantor DPRD Kota Kupang itu, namanya Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur (BKSDA NTT), 30 menit lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Saya menunggu di lobi kantor itu dengan banyak pertanyaan di kepala.

Tepat pada waktunya, saya disilakan masuk ke ruangan kerja Kepala BKSDA NTT saat itu, Ir. Timbul Batubara, M.Si., IPU. Di dalam sudah ada juga beberapa staf lain. Kami bersalaman dan berkenalan singkat.

Pak Timbul selaku pimpinan memberikan penjelasan awal. Lalu ditambahkan lebih detail oleh staf yang lain.

Mereka memiliki naskah laporan kinerja selama beberapa tahun terakhir dan berencana memublikasikannya dalam bentuk buku. Tapi, mereka juga sadar, gaya penulisan laporan itu masih terlalu kaku untuk dikonsumsi publik.

Karena itu mereka butuh penulis yang bisa melakukan penyuntingan, sehingga hasilnya berupa tulisan yang enak dibaca, mudah dipahami, dan tetap informatif. Itulah alasan kenapa saya diundang ke sana. Mereka kemudian menanyakan kesanggupan saya.

Saya tentu saja spontan bilang: siap! Supaya mereka agak yakin, saya buka semua dokumen pendukung. Saya telah menulis ini-itu, ini-itu, kata saya berupaya meyakinkan mereka. Lalu saya tunjukkan beberapa contoh, termasuk buku Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat.

Buku itu saya berikan satunya ke Kepala Balai, lalu kami foto bersama. Satunya lagi saya kasih ke staf yang menghubungi saya via telepon.

Kesimpulannya: sepakat! Saya mendapat kepercayaan untuk menyunting buku itu. Setelah pertemuan yang berlangsung kurang lebih 30 menit itu berakhir, saya langsung menerima file dalam satu flashdisk.

"Semua data ada di situ, Pak," kata staf yang menelepon saya itu, "nanti kita bisa saling kontak kalau ada yang kurang jelas atau mau ditanyakan."

Saya mengangguk dan pulang dalam keadaan bingung. Kenapa mereka bisa mengontak saya?

Kepala BKSDA NTT itu dari namanya saja sudah pasti bukan orang NTT. Staf yang menelepon dan kemudian saya tahu namanya Pak Kris, itu orang Jawa. Kami semua tidak pernah berkenalan sebelumnya, tapi kenapa tiba-tiba pekerjaan itu datang ke saya?

Sebagai penulis yang baru bertumbuh, saya juga senang. Ini tantangan baru dan menjadi pengalaman pertama saya bekerja sebagai penyunting. Tapi, apakah saya bisa?

Dasar keilmuan saya, mulai dari jenjang D3 hingga saat itu sedang menjalani pendidikan S2, semuanya bidang keperawatan/kesehatan, tapi naskah yang saya kerjakan berkaitan dengan kehutanan dan kegiatan konservasi. Apakah ada hubungannya?

Ah, saya pusing memikirkan semua itu. Saat itu saya hanya berpikir, pengalaman pertama menyunting buku ini harus dilakukan sungguh-sungguh. Maka langkah pertama yang saya lakukan adalah membaca seluruh dokumen yang sudah mereka serahkan.

Selesai membaca tahap pertama, saya tenangkan diri dan melakukan relaksasi sambil mengulang-ulang kalimat afirmasi positif: saya bisa, saya bisa, saya bisa.

Setelah itu, saya mulai kerja bab per bab. Percaya diri saja. Saya gunakan semua sumber daya yang ada. KBBI daring selalu ada di samping. Aplikasi tesaurus juga tinggal dibuka di gawai.

Selama satu minggu pertama, saya hanya fokus pada urusan itu. Semua hal-hal lain yang kurang penting, saya abaikan. Setelah dianggap lumayan baik, saya coba mengontak Pak Kris untuk janjian bertemu.

Hasil kerja pertama itu tentu saja belum langsung disetujui. Belum juga setelah revisi kedua dan ketiga. Proses revisinya hampir tidak terhitung lagi, intinya saya berproses sejak Oktober 2020 dan buku itu baru bisa terbit pada Juni 2021.

Di pertengahan masa revisi, saya sempat berpikir untuk mengundurkan diri dari pekerjaan itu. Saya merasa mungkin belum layak jadi penyunting, apalagi tuntutan tugas kuliah juga terus menghantam.

Sementara berada dalam tekanan seperti itu, mungkin istri saya juga bisa merasakan suasananya, sehingga ia ikut simpati dan bertanya, "Ada gajinya itu kerja ko?"

"Jangan pikir yang itu dulu, kita tunjukkan kinerja. Pasti orang hargai," jawab saya agak bijak.

"Apa gunanya kerja sampai stres tapi tidak ada uangnya?"

"Kamu tidak mengerti, inilah seninya kerja sebagai penulis."

"Kerja sudah kalau begitu, Penulis." Nada istri saya sedikit mengejek, tapi itu membuat saya berusaha lebih giat mengerjakan naskah tersebut.

Tim penyusun, penyunting, dan penerbitan buku "Ring of Beauty"
Tim penyusun buku "Ring of Beauty"


Saya begitu lega ketika buku itu akhirnya terbit dan tiba di Kupang. Apalagi saat BKSDA NTT mengadakan bedah buku itu di Hotel Aston, Kupang pada Juli 2021. Saya duduk di pojok belakang mendengarkan para panelis dan peserta diskusi bicara. Secara umum tanggapan mereka cukup positif.

Saya makin senang lagi ketika setelah acara bedah buku itu selesai, Pak Kris—staf yang dulu menghubungi saya pertama kali via telepon—memberi tahu agar saya segera bertemu dengan bendahara.

"Ada sedikit honorarium," katanya.

Saya berjalan di udara ketika menghadap bendahara. Nilai uang bagi setiap orang sangat relatif. Mungkin bagi mereka atau bagi Anda jumlah yang saya terima itu tidak seberapa. Tapi, saya menerimanya sebagai hasil jerih payah sebagai seorang penyunting. Saya merasa nilainya sangat besar, sangat-sangat berharga dan bikin bangga.

Dari uang hasil menyunting buku itu, saya kemudian membeli Macbook Pro 12. Memang itu barang bekas, tapi Anda tahu, produk Apple bekas pun cukup mahal bagi saya yang kondisi perekonomiannya masih lemah-lembut.

Sejak lama saya mengimpikan punya laptop berlambang apel bekas gigitan itu. Saya ingat ketika awal kuliah di Jawa dulu, sebagian besar dosen kami menggunakan laptop seperti itu. Terlihat sangat keren dan saya tidak punya keberanian untuk membelinya. Bahkan sekadar mau tanya-tanya harga di gerai yang ada di mal-mal, rasanya belum pantas.

Tapi ketika menerima honorarium dari hasil pekerjaan menulis atau menyunting, saya harus investasi pada barang yang memungkinkan saya bisa menulis atau melakukan pekerjaan kreatif lainnya.

Setelah Macbook itu sudah bisa dibeli, saya foto dan mulai pamer di medsos. Setelah itu, saya jarang juga menggunakannya karena sudah terbiasa mengoperasikan Windows. Tidak apa-apa, intinya sudah bisa foto di balik laptop bergengsi itu saja sudah cukup.

Tulisan Maksimus Masan Kian di Kompasiana tentang buku Saverinus Suhardin
Ulasan buku Saverinus Suhardin oleh Maksimus Masan Kian di Kompasiana


Setelah pengalaman pertama bekerja sebagai penyunting itu selesai, saya juga sempat mengerjakan beberapa naskah dari penulis yang lain. Padahal, saya belum pernah menceritakan pengalaman sebagai penyunting itu kepada publik. Baru kali ini saya buka cerita pengalaman sebagai penyunting ke publik.

Hingga saat ini, saya sudah menyunting 4 buku. Itu yang resmi, dalam artian nama saya sebagai penyunting ditulis secara jelas di buku. Saya juga pernah bekerja sebagai penyunting hantu (ghost writer). Saya yang kerja, tapi nama orang lain yang tertampil di buku. Saya bisa juga kerja seperti itu selama honorariumnya jelas.

Nah, kalau Anda butuh jasa penyuntingan buku atau karya tulis lainnya, semoga Anda sudah paham bisa menghubungi siapa. Hehehe...


Oh iya, pada akhirnya saya mengorek informasi kepada Pak Kris, mengapa saya yang dicari sebagai penyunting waktu itu?

Ia bilang, Bapak Kepala Balai mencari di laman Google dengan kata kunci: Penulis NTT. Lalu, ia temukan sebuah artikel berjudul: Penulis Muda Berbakat Milik NTT Saat Ini, Bernama Saverinus.

Artikel itu ditulis oleh Maksimus Masan Kian II di blog Kompasiana. Pak Maksi ini teman saya juga dan ia menulis seperti itu sebagai responsnya setelah membaca buku #JalanPagi.

Pak Maksimus Masan Kian adalah guru dan saat ini mengemban tugas sebagai Ketua PGRI Flores Timur. Ia sangat-sangat terkenal dan aktif dalam berbagai kegiatan, baik di dalam maupun luar negeri.

Terima kasih, Pak Maksi, tulisan Anda itu membuka rezeki bagi saya. Tidak heran kalau Ama semakin sehat dan sukses. Tuhan memberkati selalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar