Saya pernah menyampaikan gagasan ini kepada beberapa anak muda di halaman sebuah kos-kosan di daerah Penfui, ketika suatu sore kami duduk-duduk tidak jelas sambil menunggu kolak ubi matang. Ketika mendengar ide saya itu, mereka spontan tertawa, tapi apa yang saya sampaikan itu sebenarnya tidak bercanda.
Saya belum menemukan satu kata atau frasa pendek yang pas untuk menamai aktivitas tersebut. Karena itu, sebaiknya saya uraikan saja melalui cerita #JalanPagi hari ini.
Semua berawal dari kesempatan yang saya peroleh pada tahun 2012, ketika saya lulus kuliah D3 Keperawatan. Sebelum itu saya sangat mencemaskan tentang masa depan, apakah saya bisa dapat kerja setelah wisuda?
Singkat cerita, saya mendapatkan tawaran beasiswa dari pihak kampus untuk kuliah lebih lanjut sebagai persiapan menjadi dosen tetap. Saya menerima peluang itu dengan gembira, tapi kemudian cemas dengan banyak pertanyaan. Apakah saya layak? Bagaimana menjadi dosen? Dan lain-lain.
Satu hal yang saya tahu, dosen biasanya menulis di koran. Maka ketika melanjutkan kuliah di Prodi Pendidikan Ners FKp Unair Surabaya pada 2013, saya berupaya belajar cara menulis di berbagai tempat.
Kabar baiknya, tiap Sabtu–Minggu di Unair maupun kampus atau lembaga lain di Surabaya, pasti ada satu/dua kegiatan. Entah seminar, pelatihan, dan lainnya.
Awalnya saya lebih memilih ikut kegiatan yang ada hubungannya dengan menulis. Kalau kegiatan diselenggarakan pihak kampus, termasuk organisasi mahasiswanya, biaya pendaftaran kegiatan pada umumnya tidak ada.
Jadi, itu sudah meringankan langkah saya untuk bergabung. Saya makin takjub ketika tahu penyelenggara menyiapkan makanan dan minuman ringan juga, kadang-kadang sekalian dengan makan siang.
Setelah tahu ada fasilitas seperti itu, saya makin rajin mencari informasi kegiatan yang diselenggarakan tiap akhir pekan.
Saya tidak peduli lagi apakah kegiatan itu ada hubungannya dengan pelatihan menulis atau tidak, apakah ada hubungannya dengan ilmu keperawatan/kesehatan atau tidak, intinya ada pelatihan atau kegiatan apa saja yang gratis, pasti saya daftar dan ikut.
Saya hanya berpikir, selagi di sana ada jajanan dan makan siang gratis, lebih baik bergabung saja. Apakah saya miskin sekali sampai mengharapkan makanan gratis dari orang?
Sebenarnya tidak juga. Saya dapat beasiswa. Ada dukungan dana dari Pemprov NTT dan Yayasan Maranatha NTT. Dan kalau saya mau minta, orang tua saya juga masih siap suplai apa saja yang saya minta.
Saya memang sengaja menciptakan suasana serba kekurangan seperti itu. Mungkin saya menerjemahkan dengan keliru potongan nasihat Steve Jobs yang ini: “Stay hungry, stay foolish.”
Niat awalnya, saya memang hanya ingin dapat makanan gratis di setiap kegiatan. Tapi, saya melakukan semua itu tanpa kentara.
Tiap ada kegiatan, saya berusaha menjadi peserta yang tertib. Saya datang tepat waktu dan selalu menyimak dengan baik setiap narasumber berbicara.
Saya juga biasanya rajin mencatat poin-poin penting, sebab saya juga punya niat menulis intisari kegiatan itu di blog. Itu salah satu upaya yang saya lakukan untuk menambah jam terbang latihan menulis.
Saat sesi diskusi dimulai, saya juga biasanya akan bertanya. Entah itu benar-benar penting untuk ditanyakan atau benar-benar saya ingin tahu atau sekadar menunjukkan pada yang lain kalau saya juga ada di situ.
Kabar baiknya, kegiatan di sana sering sekali memberi apresiasi peserta yang aktif. Biasanya kita diberikan hadiah kaos, mug, buku, dan cendera mata lainnya. Ini juga salah satu magnet yang membuat saya makin rajin ikut kegiatan.
Kebiasaan itu terus saya lanjutkan ketika kembali ke Kupang pada tahun 2016. Saya malah sering ikut kegiatan yang hampir tidak ada hubungannya dengan bidang keperawatan.
Sependek yang saya ingat, saya banyak mengikuti kegiatan yang ada hubungannya dengan gerakan literasi. Orang bicara pangan lokal juga saya ikut, pelatihan pertanian membuat kompos cair juga saya hadir, bahas masalah demokrasi juga saya datang, dan tema-tema lainnya.
Saya makin bersemangat lagi ketika tahu beberapa kegiatan menyiapkan “uang duduk.” Wah, bagus sekali. Selain kita dapat informasi baru, berkenalan dengan orang baru, ada juga sedikit uang yang masuk saku.
Saat kembali ke Surabaya pada tahun 2019 untuk kuliah S2, kebiasaan seperti itu masih dilanjutkan, malah lebih sering lagi. Kami hanya ada jadwal kuliah tatap muka pada Senin–Rabu, sedangkan Kamis–Minggu adalah waktu luang untuk belajar dan mengembangkan diri. Dan saya banyak memanfaatkan waktu luang itu untuk mengikuti berbagai kegiatan.
Saya baru berhenti ikut sembarang kegiatan seperti itu ketika anak kedua kami, Abran, telah lahir. Sebenarnya saya masih ingin ikut juga, tapi tugas domestik sudah terlalu banyak. Kita baru keluar sedikit dari rumah, istri sudah telepon untuk urusan jemput anak sekolah, ambil ini, antar itu, dll.
Tapi, setelah menjalani cukup lama kebiasaan yang mungkin agak aneh itu, saya merasa semuanya baik. Kegiatan yang dulunya saya pikir tidak ada hubungannya dengan profesi perawat atau dosen, pada akhirnya saya merasa semuanya tetap ada manfaat, baik dirasakan langsung maupun tidak.
Saya merasa, dari berbagai kegiatan itu saya bisa belajar mendengarkan orang lain. Ternyata itu salah satu keterampilan penting. Kesannya sepele, tinggal memasang telinga yang berfungsi baik. Tapi kemauan untuk mendengarkan sungguh-sungguh ternyata butuh latihan juga dan keterampilan itu bermanfaat bagi keterampilan lain.
Saya juga belajar mengobservasi ruang dan suasana di tempat kegiatan; belajar cara bicara di depan umum; belajar menulis; belajar bergaul dengan orang lain; dan pelajaran hidup lain yang mungkin tidak saya sadari juga. Pendek kata, saya belajar banyak hal berharga dari kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler seperti itu.
Makanya ketika kemudian Mas Menteri Nadiem Makarim mengeluarkan ide Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), kebijakan yang memungkinkan mahasiswa mengambil mata kuliah di luar jurusannya, saya sudah melakukannya tanpa sadar sejak dulu.
Dan saya sepakat ide MBKM itu penting. Menurut saya, misalnya kita sedang kuliah di bidang keperawatan, ada baiknya juga kita belajar ilmu dan pengetahuan lain. Belajar saja sebanyak-banyaknya, pasti ada manfaat dalam pengembangan karier selanjutnya.
Apalagi peran dan tugas perawat itu sangat luas, mulai dari pemberi asuhan pasien, edukator, peneliti, motivator, kolaborator, dan masih banyak lagi. Peran itu bisa dijalankan dengan baik kalau kita punya banyak pengetahuan dan pengalaman. Dan pengetahuan dan pengalaman bisa kita peroleh dengan cara belajar di mana saja, kapan saja, dan pada siapa saja.
Saya yakin, profesi lain juga sama. Semua butuh pengetahuan dan pengalaman khusus bidang ilmu tertentu dan juga ditunjang oleh pengetahuan umum lainnya.
Itulah yang mendorong saya menyampaikan gagasan itu ke adik-adik yang ada di kos-kosan daerah Penfui tadi. Sebelumnya saya agak ragu menyampaikan ide itu kepada siapa saja, malu juga rasanya kalau mereka tahu kalau awalnya saya rajin ikut kegiatan ini-itu hanya untuk mendapatkan makanan gratis.
Tapi, entah kenapa saya tidak tahan untuk menyampaikannya. Saya tidak tega mereka terlalu nyaman memeluk bantal di kos dan lupa tujuan mereka berada di kos-kosan selama merantau di Kupang adalah untuk belajar.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar