![]() |
| Penulis Merevisi Anjuran Kesehatan Setelah Menjadi Pasien |
Setelah satu tulisan/artikel kesehatan berhasil terbit di koran lokal pada 2017 silam, kepercayaan diri saya menanjak dan semakin rajin menulis dengan tema dan pola yang sama.
Kalau ukurannya berhasil terbit di koran, upaya itu terbilang sukses. Dokumentasi saya menunjukkan sebagian besar tulisan itu terbit di Victory News, lalu disusul Timor Express, dan terakhir di Pos Kupang.
Lalu ada teman menganjurkan agar tulisan tersebut diterbitkan jadi buku, maka lahirlah Pada Jalan Pagi yang Sehat Terdapat Inspirasi yang Kuat.
Setelah itu saya masih terus menulis, hanya berganti dari media cetak ke media digital. Saya menulis di beberapa website, masih seputar isu kesehatan.
Setelah sekian tahun berjalan, saat ini saya baru menyadari ada sedikit kekeliruan dalam banyak tulisan tersebut, sehingga perlu melakukan revisi.
***
Sejak awal belajar dan berlatih menulis, saya sudah tahu ada anjuran bahwa tulisan bagus itu tidak boleh menggurui pembaca; tidak menebar banyak nasihat; tidak perlu lagak berkhotbah.
Saya percaya anjuran itu dan memang saya lebih suka membaca tulisan dalam bentuk cerita yang memikat; kisah yang menghipnotis saya untuk membaca hingga tuntas.
Ada beberapa penulis yang piawai menulis seperti itu. Biasanya setelah membaca tulisan mereka, saya spontan berpikir: benar juga ini orang…
Saya tentu saja berupaya menghasilkan tulisan seperti itu. Setelah sekian lama berlatih, sepertinya kemampuan saya masih istirahat di tempat.
Mayoritas artikel kesehatan yang pernah saya publikasi pasti memuat banyak anjuran. Pola tulisan saya biasanya diawali dengan deskripsi fenomena atau tren masalah yang sedang hangat.
Penjabaran itu biasanya dilanjutkan dengan beberapa tawaran solusi yang bisa dilakukan secara mandiri. Bagian ini rata-rata seperti ceramah. Dan ketika panjang tulisan mencapai target minimal tapi cara penyampaiannya belum maksimal, ujung-ujungnya saya meniru iklan obat di TV: bila sakit berlanjut, hubungi dokter…
Saya hanya mengubah cara penyampaian saja. Kalau masalah kesehatan itu belum teratasi dengan upaya sendiri, maka sebaiknya datangi tenaga profesional kesehatan di berbagai fasilitas kesehatan yang ada.
***
Akhir tahun 2023 saya mengalami sakit parah, sampai sempat merasakan kondisi sakratul maut. Tapi mungkin Tuhan masih punya misi lain buat saya hingga saat ini masih bertahan (cerita pengalaman sakit itu mungkin saya tulis lain waktu).
Gara-gara itu, sepanjang 2024 saya menjadi tamu rutin di berbagai fasilitas kesehatan. Hampir tiap bulan saya mengecek perkembangan kesehatan di faskes, persis seperti anjuran-anjuran dalam tulisan saya dulu.
Saat itu saya mulai sadar: lebih mudah memberi anjuran daripada melakukan.
Meski begitu, saya tetap percaya, urusan kesehatan memang sebaiknya tetap dilakukan di fasilitas kesehatan resmi. Saya tidak bisa menampik saat ini banyak alternatif pertolongan lain, tapi semuanya itu tidak bisa menggantikan peran layanan kesehatan formal. Kalau ada metode lain, mungkin bisa dijadikan pelengkap (komplementer) saja, bukan pengganti (substitusi).
Berdasarkan pengalaman saya selama kurang lebih setahun “menikmati” fasilitas kesehatan, harus diakui: tidak semuanya berjalan sesuai harapan. Ada banyak tantangan, dan yang paling terasa adalah kecepatan layanan.
Satu periode pemeriksaan saja bisa butuh minimal tiga hari. Sebagai gambaran, saya beri ilustrasi seperti berikut ini.
Ketika saya ingin mengevaluasi proses pengobatan, saya ke fasilitas kesehatan dengan membawa surat kontrol, kartu berobat/BPJS, dll. Tahap pertama, saya berhadapan dengan bagian pendaftaran.
Sejak bagian awal ini, kesabaran langsung diuji. Biasanya antrean pengunjung cukup panjang. Kita mesti bertahan menunggu giliran.
Kalau di situ sudah beres, kita biasanya diarahkan ke ruangan sesuai kebutuhan. Di sana, kita berhadapan dengan petugas kesehatan, menyerahkan berkas pendaftaran, mengikuti prosedur anamnesa dan pemeriksaan fisik sebentar, lalu selanjutnya menunggu kedatangan dokter.
Bagian yang terakhir itu biasanya lama. Kalau pun dokter sudah tiba, kita mesti bersabar karena satu dokter harus melayani banyak orang.
Sepanjang yang saya amati, ada banyak pasien lain yang tidak sabaran pada bagian ini. Beragam komentar yang mengekspresikan kekesalan meluncur di ruang tunggu. Sampai kadang ada yang bersitegang dengan petugas kesehatan.
Kalau nama sudah dipanggil ke ruang dokter, barulah sebuah senyuman terbit di wajah. Saya biasanya melangkah dengan semangat, tidak sabaran menyampaikan keluhan dan berkonsultasi dengan dokter.
Anjuran dokter bisa sangat beragam, tergantung keluhan kita maupun hasil pemeriksaan awal. Kalau ada yang perlu dipastikan dengan pemeriksaan lebih lanjut, biasanya kita difasilitasi untuk pemeriksaan laboratorium atau berbagai jenis pemeriksaan radiologi.
Misalnya kita disarankan untuk melakukan pemeriksaan darah di laboratorium, kita tentu saja bergegas ke ruangan tersebut. Kita pastinya berharap bisa langsung mendapatkan pelayanan pada hari itu juga. Tapi, kalau kita sudah lama menunggu di ruang pemeriksaan sebelumnya dan tiba di laboratorium pada waktu yang tidak tepat, maka kita akan mendapatkan pesan: mohon maaf, loket sudah tutup, nanti datang lagi esok pagi.
Keesokannya kau datang lagi, pagi-pagi sekali agar dilayani lebih cepat, tapi terkadang di sana sudah banyak pasien lain. Kita menunggu lagi, antre lagi, sampai sampel darah sudah diambil. Selanjutnya kita menunggu hasil, rata-rata bisa keluar setelah 2 jam pengambilan sampel. Kita tunggu lagi.
Setelah hasil pemeriksaan laboratorium keluar, kita tentunya harus ketemu dokter lagi agar kesimpulan mengenai masalah kesehatan kita lebih valid. Karena proses di laboratorium telah memakan waktu cukup lama, biasanya kita tidak bisa langsung ketemu dokter pada hari kedua itu.
Hari ketiga kita datang lagi dengan membawa hasil laboratorium. Kita harus mengantre lagi dan menunggu. Begitu sudah ketemu dokter, biasanya sudah diberikan informasi yang jelas apa masalah kita, berikut dengan obat-obatan yang perlu diambil di apotek. Kita antre lagi di sana, menunggu obat.
Itu gambaran proses layanan kesehatan kita, setidaknya berdasarkan pengalaman saya. Pendek kata, kita butuh kurang lebih 3 hari untuk satu tujuan pemeriksaan.
Menurut saya, itu tidak mudah. Saya yang sedikit belajar tentang kesehatan saja kadang merasa putus asa. Kadang saya berpikir untuk tinggalkan proses pengobatan, tapi begitu mengingat pentingnya langkah tersebut, saya akhirnya tetap bertahan.
Tapi, bagaimana dengan orang lain? Ada banyak masalah kesehatan yang membutuhkan pengobatan rutin di negara kita, tapi menurut laporan, banyak di antara mereka yang tidak patuh menjalani pengobatan hingga tuntas. Akibatnya, masalah kesehatan mereka makin berat dan makin sulit diobati dan negara terbebani dengan anggaran makin membengkak.
Lalu, kadang kita gampang menyimpulkan orang yang tidak patuh disebabkan karena kurang pengetahuan. Oleh karena itu kita perlu gencar melakukan penyuluhan dengan biaya yang lumayan.
Padahal, bisa saja orang malas berobat karena proses yang lama dan panjang. Bukan karena tidak tahu, tapi tidak mau menjalani prosedur yang dinilai ribet.
Ketika orang berada dalam kondisi seperti itu, datanglah tawaran pengobatan alternatif yang menjanjikan hasil bombastis. Ini godaan yang membuat orang meninggalkan layanan kesehatan resmi.
***
Memang masalah ini sudah bukan rahasia lagi, segala layanan yang ada di republik ini seperti langkah siput—apalagi layanan kesehatan yang banyak keterbatasan di segala bidang.
Pak Menteri BGS (Budi Gunadi Sadikin) di beberapa media sering mengungkapkan masalah sistem kesehatan kita. Selama periode pertama ia menjadi Menkes, upaya transformasi kesehatan mulai bergerak.
Ada banyak perubahan yang terlihat, khususnya pembangunan infrastruktur fisik. Bangunan dan alat kesehatan mulai tersedia di berbagai wilayah, tapi SDM yang mengoperasikannya masih kurang. Kini ia juga sedang mempercepat penyediaan SDM kesehatan dan sistem pendukung lainnya. Semoga upaya itu bisa mempercepat layanan kesehatan kepada masyarakat.
Berdasarkan pengalaman pribadi itu, saya tetap merekomendasikan atau menganjurkan agar kita tetap memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada. Pilihan pertama dan utama, tentu saja langkah pencegahan agar kita semakin sehat, semakin kuat, semakin bersemangat dan semakin bermanfaat—seperti tagline baru #JalanPagi.
Saya tetap menganjurkan kita untuk menikmati layanan di fasilitas kesehatan kalau memang butuh bantuan, tapi dengan sedikit catatan revisi. Selama menjalani masa pengobatan, kita perlu melatih diri dengan 3 modal dasar, yaitu: sabar, sabar, dan sabar.
Setelah baca ulang, tulisan ini masih terlalu banyak nasihat. Menulis bagus juga butuh latihan panjang, jadi perlu sabar, sabar, dan sabar.
#JalanPagi
Kalau kamu juga pernah capek antre berobat, atau bahkan pernah berhenti pengobatan karena ribetnya proses, cerita di kolom komentar ya. Kita sama-sama manusia. Ceritamu bisa bikin orang lain tetap bertahan dan tidak menyerah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar