Berapa bulan lalu, Vian Jemadu, salah satu teman semasa SMP di Manggarai dulu datang ke Kupang, lalu kami janjian untuk bertemu. Kami juga berkoordinasi dengan Sahat Sergi alias Lalonk yang merupakan akamsi Kota Kupang dan dulu pernah sama-sama sekolah di SMP St. Klaus, Kuwu.
Pertemuan itu sebenarnya sederhana sekali, tapi butuh proses panjang untuk menentukan waktu yang pas. Kalau Vian punya waktu luang, saya tidak bisa. Giliran saya bisa, kadang Vian malah ada urusan lain. Baru pada 17 Desember 2024 kami benar-benar bisa bertemu.
Sekolah yang mewajibkan semua murid tinggal di asrama seperti St. Klaus, Kuwu membuat kami begitu dekat seperti satu keluarga. Ada banyak kenangan yang selalu menarik untuk diceritakan kembali dan biasanya memantik gelak tawa. Atau setidaknya tersenyum geli.
Sewaktu kami masih SMP, nama-nama pemain bola dunia yang terkenal sebagian besar memiliki nama berakhiran huruf 'O'. Ronaldo, Ronaldinho, Rivaldo, Robinho, Figo, dan masih banyak lagi.
Entah kenapa, saya dan teman lain seperti Vian Jemadu juga berupaya membuat nama panggilan baru. Nama samaran. Tidak jelas apa tujuannya, sepertinya keren saja kalau nama berakhiran huruf O.
Maka, saya mengumumkan agar sebisa mungkin dipanggil Seavintho. Sedangkan Vian Jemadu, dia memilih nama Phintho—sampai sekarang nama itu bertahan menjadi nama profil FB-nya: PhinTho GAmboa.
Supaya terus diingat oleh semua orang, pesan lisan tidaklah cukup. Karena itu, nama itu mesti diabadikan dalam buku tulis atau buku cetak dari perpustakaan, meja belajar dan bangku di kelas, tembok toilet, kayu tempat tidur di asrama, piring, ember, dan di segala macam tempat.
Setelah merasa nama Seavintho itu telah menyebar cukup merata di area sekolah dan asrama, entah si Phintho, kalau saya merasa seperti pemuda Brazil tiap kali turun lapangan bermain sepak bola. Saya berharap, dengan perubahan nama baru itu, maka kemampuan mengolah kulit bundar menjadi lebih lancar. Tapi, kenyataannya tetap payah.
Bagi saya, Lalonk dulu menjadi pusat perhatian karena ia berasal dari Ibukota Provinsi NTT. Memang orang tuanya dari Manggarai, tapi telah lama menetap di Kota Kupang.
Selain dia, ada beberapa teman lain juga dari Kupang yang sekolah bersama kami. Saya tertarik dengan bahasa dan logat Kupang ketika mereka bicara. Bagi saya, itu cukup menarik dan satu kata yang paling diingat adalah: sonde.
Bagi saya, Lalonk itu juga toko musik berjalan. Dari mulutnya, saya jadi tahu ada grup musik yang namanya Sheila on 7; Peterpan, Radja, dll. Lalonk suka memukul-mukul meja sambil bernyanyi Shepia.
Saya diam-diam belajar, lalu kalau sedang sendiri coba menyanyi juga. Kadang ada lirik yang karena salah dengar akhirnya salah ucap, tapi tetap hantam terus.
Sebagai anak yang tumbuh besar di kota, Lalonk juga memiliki banyak pengetahuan umum. Ia tahu banyak tentang tempat dan negara-negara yang ada kaitannya dengan sepak bola; ia tahu tentang film dan lagu yang sedang tenar; ia tahu dan banyak cerita berbagai jenis game; dan banyak lainnya.
Bagi saya, dia itu ensiklopedia hidup saat itu. Bagaimana tidak, hanya dia yang punya koleksi lengkap buku terbitan Erlangga untuk semua mata pelajaran yang ada dalam kurikulum nasional. Kalau guru hendak mengajar, kadang mereka pinjam atau lihat dulu bukunya Lalonk—mungkin mau cocokkan dulu kebenaran materi ajarnya—baru setelah itu mulai mengajar.
Tidak hanya itu, saya tahu pertama kali tentang ATM dari Lalonk. Saya merasa takjub, ada kartu kecil yang bisa dipakai untuk mengambil uang.
Saya juga merasa, dengan ATM itu Lalonk mendapatkan kiriman uang jajan yang jauh lebih besar dari kami—setidaknya saya. Dia kalau sudah izin di pembina asrama untuk ambil uang di ATM yang hanya ada di Kota Ruteng kala itu, maka kami yang lain akan kecipratan jajan: kacang sukro, permen, kue tacupiang, dll.
Pendek kata, Lalonk itu sangat bagus dijadikan teman dan saya bersyukur bisa cukup dekat dengan dia. Tapi, kami dua hampir celaka di tangan seorang gembala sapi yang dikenal dengan julukan Lija. Perihal itu pernah saya ceritakan, entah di catatan #JalanPagi edisi ke berapa.
Saya kadang berpikir, apa karena dulu cukup dekat dengan Lalonk makanya saya malah merantau dan mungkin akan menetap di Kupang? Mungkin tanpa sadar saya terobsesi dengan Kupang, sehingga semesta membawa saya ke sini. Entahlah.
Semasa SMP kami cukup bertahan sekolah dengan aturan yang ketat di St. Klaus, Kuwu. Tapi ketika masuk SMA, entah kenapa saya, Vian dan Lalonk tidak lagi betah. Karena itu, Lalonk keluar dan pindah di SMA Geovani Kupang; Vian pindah ke Ruteng; dan saya ke Lembor.
Secara umum, kami tidak tahan lagi dengan sistem sekolah yang mengekang kebebasan kami sebagai anak remaja yang sedang ingin mengeksplorasi banyak hal. Kalau kedapatan melanggar peraturan, para pembina tidak segan-segan memberi sanksi yang tidak hanya menyakitkan secara fisik, tapi juga mengganggu secara psikologis.
Sebagai contoh, saya pernah kedapatan tidak tidur siang dan sedang makan kacang rebus di belakang asrama. Pembina asrama menyita kacang rebus saya, lalu dia hantam dengan tongkat di betis dan bokong. Tidak puas dengan itu, dia masih suruh saya berlutut di dekat jalan yang biasa dilewati anak-anak asrama putri. Dan terakhir masih disuruh menebas rumput tidak jauh dari tempat saya berlutut.
Sejak peristiwa itu, saya berpikir, kenapa begini sekali ini sekolah e? Mungkin mulai saat itu saya benci dengan sekolah yang terlalu banyak mengatur-atur orang.
Mungkin maksud hati kecil si pembina asrama itu baik, hendak membina kedisiplinan anak didik. Tapi, saya merasa ia terlalu berlebihan saat itu. Dan peristiwa itu menjadi bibit awal bagi saya menjadi pembangkang dan tidak suka dengan sekolah.
Saya tidak tahu apa pertimbangan Lalonk dan Vian, tapi faktanya kami sama-sama keluar. Meski begitu, kami atau setidaknya saya masih menimba banyak hal positif lain dari sekolah dengan sistem berasrama dengan perangkat peraturan yang lengkap seperti itu. Salah satunya, kami tetap menjalin relasi dengan baik dengan sesama teman sekolah.
Maka ketika Vian datang ke Kupang, saya langsung mengontak Lalonk. Seperti biasa, Anak Gang Corola, Oepoi ini selalu sigap kalau teman-temannya butuh bantuan.
Saya menjemput Vian di salah satu kos-kosan di Penfui, lalu kami bergerak ke salah satu warung se'i babi di bilangan Naimata. Sementara itu, saya mengirim pesan ke Lalonk agar segera merapat ke lokasi.
Saya dan Vian tiba lebih dulu dan kami lumayan lapar. Maka kami pesan makan duluan. Baru dua kali suapan, Lalonk tiba. Kami pesan lagi untuk Lalonk, lalu kami lanjut makan sambil berbagi cerita.
Lalonk, setelah tamat SMA ambil kuliah hukum di Undana. Ia tertarik dengan hukum internasional dan ketika ambil studi S2 di Unpad, ia meneliti tentang masalah tumpahan minyak di Laut Timor yang melibatkan pemerintah Australia.
Hingga kini, saya tetap menganggap dia seperti ensiklopedia hidup, khususnya lagi untuk masalah hukum. Kalau bertemu, saya pasti banyak bertanya tentang apa saja yang berkaitan dengan hukum.
Termasuk kalau saya bertemu dengan mahasiswa dari Manggarai yang kebingungan mencari topik skripsi bidang hukum, kadang saya memberi nomor WA-nya Lalonk dan menyuruh anak itu untuk kontak langsung.
“Bilang saja kau adiknya saya,” biasanya saya bilang begitu.
Setelah lulus dari Unpad, Lalonk sempat mau jadi dosen di salah satu kampus swasta. Tapi, ia kemudian memantapkan pilihan menjadi ASN di Kantor Wilayah Kemenkumham NTT.
Sementara itu, Vian dulu kuliah jurusan keperawatan seperti saya. Tapi, setelah resmi jadi perawat, ia lebih memilih menjadi pendamping PKH. Ia telah menjadi bagian dari keluarga besar Kemensos RI.
Kami makan sangat banyak saat itu. Selain makanan porsi utama, lalu ada ekstra nasi, Lalonk juga memesan satu porsi khusus daging se'i babi. Sembari makan lemak babi, kami membahas segala tema, termasuk teknik mengendalikan kolesterol, asam urat, darah tinggi, dan sejenisnya untuk bapak-bapak usia 35-an ke atas.
Sebagaimana judulnya “Teman SMP”, SMP juga bisa jadi akronim dari: Selesai Makan, Pulang. Tapi, ketika kami mau bubar, saya sempat berpikir, siapakah yang akan membayar semua makanan yang banyak itu?
Saya sebenarnya telah siap, tapi agak was-was dengan jumlahnya. Takutnya tidak sesuai persediaan di dompet. Baru saya berpikir begitu, saya melihat Lalonk sigap ke kasir sambil menyodorkan kartu.
“Biar pakai ini saja,” kata saya. Meski dalam hati sudah senang karena Lalonk sudah lebih dulu ambil inisiatif. Saya makin lega ketika dia bilang dengan mantap: biar ini sudah.
Perut kenyang, pikiran senang. Lalonk sebagai staf Kemenkumham telah membuat apa yang kami makan jadi legal di mata hukum. Vian sebagai staf Kemensos telah berbagi banyak kisah yang membuat hubungan sosial kami makin akrab. Dan saya sebagai karyawan Kementerian Facebook hanya bisa mendokumentasikan dan melaporkan peristiwa itu untuk Anda.
#JalanPagi
Siapa lagi yang masih punya grup WA teman SMP dan suka reuni makan banyak? Atau punya nama panggilan konyol masa sekolah? Cerita dong di komentar, pasti rame ini.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar