Sebagai anak yang bertumbuh besar di kampung, kadang saya sesekali menghayal bisa masuk TV—lebih tepatnya tampil di acara televisi. Impian itu akhirnya terwujud pada 25 Maret 2010 seperti keterangan pada foto yang terlampir pada unggahan ini, tapi saya kelihatan tegang pada foto. Kenapa?
Itu foto ketika saya masih kuliah pada tingkat 1 di Akper Maranatha Kupang. Karena ini terjadi pada 14 tahun silam dan rupa saya yang sekarang sudah banyak berubah, saya beri petunjuk posisi duduk: saya berada di deretan kedua paling kanan. Sementara perempuan yang paling kiri itu Anyk Astuty yang kini menjadi istri saya.
Kami yang berjumlah 12 orang di foto itu merupakan gabungan dari berbagai angkatan yang sekiranya dinilai baik oleh dosen pendamping kami waktu itu untuk tampil di acara Debat Mahasiswa TVRI NTT. Saat itu kami berhadapan dengan mahasiswa Prodi S1 Keperawatan STIKES CHMK.
Pada saat dosen memberi tahu saya salah satu yang ikut terlibat, pikiran langsung kacau. Campuran antara senang dan khawatir. Saya senang karena akhirnya bisa merasakan bagaimana tampil di TV, tapi di sisi lain saya agak demam panggung dan selalu cemas kalau tampil dan bicara di depan umum.
Saat itu saya masih mengalami krisis kepercayaan diri yang sangat parah. Kalau mau bertanya dengan dosen dalam kelas saja, jantung saya berdetak lebih cepat dan kadang tidak teratur. Saya selalu gugup kalau bicara. Akibatnya, pelafalan kata atau kalimat yang saya ucapkan itu kurang jelas terdengar oleh lawan bicara.
Teman kelas saya dulu selalu bilang, kalau saya omong itu seperti orang yang bicara sambil berkumur atau sedang makan jagung goreng panas. Komentar teman-teman itu buat saya makin ciut setiap kali diberi kesempatan tampil bicara di depan sekelompok orang.
Meski begitu, entah kenapa, tetap ada saja yang memberi kepercayaan atau penugasan kepada saya untuk tampil. Mau tidak mau, saya belajar dan berusaha. Berani tampil saja dulu, meski hasilnya jarang bagus dan selalu bikin saya berkeringat karena gugup.
Pernah pada kesempatan lain ketika masa awal-awal kuliah dulu, saya diminta untuk memberi penyuluhan tentang DBD (Demam Berdarah Dengue) kepada anak-anak di sebuah panti asuhan di Kota Kupang.
Saat itu organisasi mahasiswa kami membuat kegiatan sosial di panti asuhan, sekaligus memberikan penyuluhan kesehatan. Setelah mendapatkan tugas, saya berupaya menyiapkan diri sebaik mungkin. Saya cari materi sebanyak mungkin, membaca dan meringkas, lalu menampilkan informasi penting di PowerPoint.
Begitu diberi kesempatan oleh MC pada hari di mana acara itu berlangsung, saya naik ke atas panggung dengan perasaan was-was dari ujung rambut sampai kaki. Meski begitu, saya berupaya melawan rasa gugup itu dengan menyapa dan memberi salam kepada audiens dengan suara keras dan bersemangat.
Kalimat pembuka masih aman. Tapi kalimat berikutnya saya buat kesalahan. “Baik, adik-adikku sekalian, hari ini kita akan belajar bersama tentang: Nyamuk Berdarah....”
Sontak satu ruangan tertawa. Harusnya saya bilang “Demam Berdarah” tapi malah kepleset jadi “Nyamuk Berdarah”.
Tidak hanya anak-anak panti yang menjadi sasaran penyuluhan saya, tapi semua dosen, teman-teman mahasiswa, dan bapak/ibu pimpinan/pembina di panti itu juga terbahak-bahak.
Saya merasa tubuh langsung mendidih, mungkin wajah saya terlihat merah, dan keringat telah membanjir di seluruh bagian tubuh. Saya makin kacau, tapi acara mesti terus berlanjut. Bagian selanjutnya sudah pasti kurang berkesan lagi, tapi saya tetap tampil hingga selesai.
Saya bersyukur, meski saya merasa kurang mampu berbicara di depan umum, tetap saja ada orang yang memberi kepercayaan untuk tampil di berbagai kesempatan. Termasuk dosen pendamping kami saat acara debat di TVRI itu dulu. Antara percaya dan tidak, saya ikuti saja prosesnya.
Meski mulai cemas karena akan bicara di depan orang banyak lagi, apalagi ketika membayangkan orang se-NTT akan nonton, saya tetap antusias menyampaikan kabar membanggakan itu kepada orang tua di kampung.
Saya bilang saat itu, bahwa saya mau tampil di TV, sehingga kalau bisa mereka ikut menonton dari rumah. Saya tahu di kampung kami sulit mendapatkan siaran lokal TVRI NTT, tapi saya tetap berkukuh agar mereka coba buka saja saluran TVRI—siapa tahu siaran lokal NTT tersambung ke saluran nasional.
Setelah telepon cukup lama menjelaskan ini-itu, saya kirim SMS lagi: Jangan lupa nonton, coba cek di TV jam 5 sore.
Saya memang mesti ulang-ulang menyampaikan informasi itu kepada orang tua, sebab saya punya reputasi buruk di mata mereka perihal sekolah. Saat SMA, saya dikenal anak yang malas sekolah, sehingga harus pindah-pindah sampai 4 sekolah hingga akhirnya lulus.
Maka ketika di masa awal kuliah saya mendapat kesempatan tampil di TV, saya sampaikan ulang-ulang agar mereka tahu dan ingat, bahwa tidak sia-sia juga mengirim uang berjuta-juta kepada anak yang satu ini di Kota Karang.
Setelah mengirim kabar ke orang tua di kampung, selanjutnya saya resah sendiri. Kami akan membicarakan seputar masalah HIV-AIDS. Saya berupaya mencari bahan bacaan, membaca sebanyak mungkin, dan membuat ringkasan.
Begitu tiba di studio TVRI Kupang dan melihat lawan debat, saya mulai tidak tenang. Tapi, demi nama baik almamater, saya harus tampil maksimal.
Menjelang acara dimulai, kami diarahkan petugas masuk ke ruangan/studio khusus. Ruangannya dingin, ada AC di berbagai sudut, dan saya merasa sepertinya otak ikut membeku dalam suasana seperti itu.
Kami duduk di sisi kiri dan kelompok lawan di sebelah kanan. Kami sama-sama menghadap panggung utama, di sana telah duduk pembawa acara dan para panelis debat.
Acara hendak dimulai, para kru TV mulai menyalakan semua perangkat, termasuk lampu sorot. Saya baru pertama kali merasakan disenter oleh lampu sebesar dan seterang itu, mata langsung silau dan saya semakin tidak bisa menenangkan diri.
Saya berupaya tarik napas dalam, hembuskan pelan-pelan. Tapi, saya bisa merasakan dengan jelas bunyi detakan jantung lebih cepat dan kadang tidak teratur. Maka ketika dosen kami memfoto sesaat sebelum debat dimulai, saya tampak duduk dengan pose dan wajah tegang.
Kami ada 12 orang satu tim dan durasi debat tidak sampai satu jam. Belum lagi pewawancara membuat kalimat pengantar cukup panjang, lalu ada komentar dari panelis, sehingga kami total berdebat hanya sekitar 30 menit.
Artinya, kalau saya diam saja sebenarnya tidak ada masalah, ada banyak teman yang bisa mewakili. Tapi, saya sudah memberi tahu orang tua di kampung dan saya membayangkan mereka telah duduk melihat saya di depan layar kaca.
Karena itu, saya bertekat untuk bicara, tinggal menunggu kesempatan yang pas. Saya terus menyimak pembicaraan selama acara berlangsung, hingga ada satu kesempatan di mana rekan satu tim belum ada yang mau bicara sementara pewawancara telah memberi kesempatan.
Saya akhirnya bicara juga, meski dengan berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Saya telah lupa apa poin yang disampaikan saat itu, tapi saya masih ingat jelas ketika saya bicara, semua orang di satu studio terpingkal-pingkal. Saya langsung salah tingkah dan segera mengakhiri kalimat.
Sejak saat itu, saya berdoa semoga saluran TVRI NTT yang menayangkan acara debat kami itu tidak muncul di TV masyarakat. Saya juga tidak pernah menanyakan lagi ke orang tua di kampung apakah mereka berhasil nonton atau tidak. Saya berharap tidak, dan sejak saat itu saya tidak mau membicarakannya lagi kalau ada kesempatan ke kampung.
Urusan bicara di depan umum (public speaking) ini mungkin bukan hanya masalah saya. Sebab ketika sadar saya payah pada bidang ini, maka saya belajar dengan membeli banyak buku tentang subjek itu.
Dari beberapa buku yang saya baca, ternyata ada penelitian yang menyebutkan bahwa orang lebih takut bicara di depan umum daripada takut pada setan.
Saya kira itu tepat, sebab saya merasakannya sejak lama, bahkan sampai saat ini. Saya beruntung telah belajar sedikit-sedikit ilmunya dan pekerjaan sebagai pengajar membuat saya bisa terus berlatih.
Sampai saat ini, saya masih lebih nyaman menyampaikan cerita atau gagasan lewat tulisan #JalanPagi daripada bicara secara langsung. Apalagi kalau bicara di depan kamera, kadang saya merasa asing dengan wajah dan suara sendiri.
Meski begitu, saya tetap berusaha untuk belajar. Saya akan belajar bicara lebih banyak di depan kamera, mulai hari ini dan seterusnya. Saya harus berani melawan ketakutan yang diciptakan oleh pikiran sendiri.
Saya mungkin susah lebih baik dari orang lain, tapi saya pasti bisa lebih baik dari diri saya yang dulu.
#JalanPagi
“Nyamuk Berdarah” masih jadi kata paling memalukan dalam hidup saya sampai sekarang. Kalau kamu punya pengalaman public speaking yang bikin malu seumur hidup, cerita dong di komentar. Kita sama-sama manusia yang lagi belajar berani.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar