![]() |
Ketika dewasa seperti sekarang dan menyadari hidup kadang seperti angin ribut, pikiran saya kembali teringat dengan serentetan nasihat orang tua, opa-oma, om-tante, guru, dan banyak tokoh lainnya.
“Ternyata ada benarnya juga e,” kadang saya membatin seperti itu, tapi dulu ketika mendengar pertama kali nasihat itu sudah tentu kepala batu.
Saya pernah cerita sebelumnya kalau masa kecil saya hingga tamat SD lebih banyak membantu orang tua menggembalakan sapi. Itu benar adanya, tapi namanya anak-anak, pekerjaan itu dilakukan kalau ada pengawasan ketat dari orang tua.
Aslinya, saya seperti anak-anak normal lainnya: suka bermain. Setelah dewasa saya sering mendengar atau membaca informasi ini: dunia anak adalah dunia bermain. Tapi, pengetahuan itu baru saya dapatkan belum lama ini dan dulu semasa kecil tidak mudah mendapatkan kesempatan untuk bermain.
Orang tua saya, khusus Bapa, sering menekankan pentingnya latihan bekerja sejak kecil. Ia yang pertama kali mengajar saya cara menanak nasi di tungku menggunakan kayu bakar.
“Air di atas berasnya sampai segini saja,” katanya sambil menempatkan tanda pada buku kedua dari ujung jari telunjuk.
Setelah beberapa kali gagal, saya akhirnya bisa juga. Mungkin sekitar kelas 3 SD kala itu.
Saat makan siang bersama, pasti ada peringatan dari Bapa untuk tidur siang. Itu anjuran bagus, tapi naluri saya sebagai anak-anak tentu saja ingin pergi bermain. Bahkan sejak di sekolah, saya sudah janjian dengan teman-teman dekat rumah untuk bermain apa dan di mana.
Maka setelah santap siang, saya masuk ke kamar tidur dan berupaya baring sambil menutup mata. Tapi, pikiran saya sudah di tempat bermain.
Ketika saya dengar suasana rumah agak senyap, maka saya keluar kamar seperti ninja. Begitu berhasil keluar dari rumah, langsung lari menuju area yang kira-kira ada teman sebaya bermain.
Selama main, gembira seluruh badan. Tapi ketika matahari hampir tenggelam dan anak-anak lain kembali ke rumah masing-masing, saya mulai cemas. Saya ke rumah sambil memikirkan alasan ini-itu kalau ditanya pulang dari mana?
Setiap menemukan satu jawaban, saya tidak yakin karena faktanya badan telah basah oleh keringat. Tanpa saya jelaskan pun, orang tua telah tahu kalau saya habis bermain dengan sungguh-sungguh.
Pernah berpikir untuk tidak usah pulang ke rumah karena takut dimarahi, tapi saya mau ke mana? Pada akhirnya pasrah.
Pada umumnya orang tua pasti marah-marah sambil memberi nasihat. Dan mungkin ketika mereka melihat saya sepertinya kebal dengan nasihat, biasanya ada kalimat tambahan yang terus saya ingat sampai sekarang, “Manga baen le meu spisa.” (Kalian akan tahu sendiri nanti).
Dalam variasi yang lain, kadang ada yang menggunakan frasa ini: “bom agu sei tai” yang kurang lebih bermakna, “risikonya nanti tetap ditanggung sendiri.”
Itu peringatan keras, tapi pikiran saya sebagai anak-anak saat itu tentu saja belum mampu menyerapnya dengan baik. Saya memang diam saja ketika mendengar omelan seperti itu, tapi dalam hati berkata, “Ah, persetan!”
Ketika bertumbuh jadi anak remaja, saya merasa masih sama saja. Seiring dengan bertambahnya jumlah kenakalan atau keusilan, saya makin akrab dengan frasa/kalimat ancaman tadi, tapi saya malah makin tidak peduli.
Saya sering mendapatkan banyak kalimat nasihat; saya mendengarnya dengan baik dan paham kata per kata, tapi saya tidak suka menjalankannya. Lama-lama saya malas mendengarkan nasihat.
“Kalian omong saja,” saya respons seperti itu, tapi tentu saja disampaikan dalam hati sambil pura-pura menyimak.
Saat ini ketika sudah dewasa, tantangan berupaya mengadang setiap jalan. Mau lepas tangan, muka mau taruh di mana?
Mau tidak mau harus berjuang lebih keras, sampai-sampai tidak sempat lagi menikmati tidur siang (padahal dulu waktu kecil dipaksa tidur siang, saat dewasa kemewahan itu malah hilang). Ketika sudah lelah, nasihat-nasihat itu kembali datang.
“Padahal betul e, coba dari dulu berubah.” Penyesalan memang selalu datang belakangan.
Saya akhirnya bersyukur dulu pernah diajarkan disiplin, sehingga saat ini tinggal dikembangkan ulang.
Saya berterima kasih telah dibina untuk bisa bekerja keras, sehingga saat ini tinggal dibiasakan lagi.
Saya senang dulu pernah diberitahu tentang ini-itu, tinggal sekarang coba diterapkan saja. Masih ada waktu buat berubah lebih baik.
Saya kadang tidak mengerti, kenapa ada masa dalam hidup saya itu tidak suka mendengar nasihat. Apakah hanya saya?
Entahlah, tapi selama belajar menulis cerita, saya temukan informasi kalau pada umumnya manusia itu tidak mau terlalu dinasihati; tidak suka digurui; malas mendengar khotbah.
Secara umum manusia lebih menyukai cerita. Karena itu, sejak zaman dulu nenek moyang kita pandai membuat cerita/dongeng dan membiarkan anak-anak belajar mengenai kehidupan dari kisah tersebut.
Tapi, membuat cerita yang bagus tidak pernah mudah. Saya telah latihan bertahun-tahun, isinya tetap banyak nasihat. Saya belum mampu melarutkan pesan-pesan terselubung itu dalam kisah yang memikat.
Sebagai ayah dua anak (Gibran dan Abran), saya pernah memiliki obsesi untuk mendidik mereka jauh lebih lembut dan sebisa mungkin mengurangi nasihat secara langsung.
Ketika masa persiapan awal sebagai orang tua, saya coba membaca atau mendengarkan informasi seputar cara merawat/mendidik anak. Ilmu parenting orang bilang. Apalagi saat ini tampaknya banyak sekali pakar parenting yang bikin konten di media sosial kita.
Dari mereka itulah, saya jadi tahu kalau mendidik anak itu harus dengan kasih sayang, lemah-lembut, tanpa kekerasan. Itu anjuran yang sangat mulia dan saya harus menerapkannya.
Maka, saya mulai cari bahan bacaan anak (dongeng) sebanyak mungkin, lalu latihan membaca nyaring buat mereka. Saya juga berusaha menjadi contoh yang baik buat mereka, sebab anak-anak katanya suka meniru.
Tapi, dalam berbagai upaya itu, Gibran maupun Abran rupanya punya dunia masing-masing. Saya dulu sempat berpikir, cara mendidik Abran ini gampang karena tinggal menerapkan apa yang sudah kami pelajari dari proses mendidik Gibran. Ternyata tidak segampang itu, Abran memiliki kekhasannya tersendiri yang perlu kami lakukan pendekatan lain lagi. Pendek kata, rumit dan penuh misteri.
Meski sudah belajar dan berniat untuk lebih lembut, tetap saja ada momen yang membuat saya keluar batas. Sebagai contoh, ketika saya meminta Gibran agar begitu bangun tidur pagi, langsung sat-set mandi, berpakaian, makan, lalu berangkat sekolah.
Kenyataannya, ia meniru langkah siput. Kadang ia menghayal dulu di kamar mandi, tidak mandi-mandi. Melihat kenyataan seperti itu, tanpa sadar saya meledak-ledak.
“Cepat sudah, Gibran! Mandi apa ko sampai lama begitu...”
“Sabar aaa....”
“Jawab lagi, cepat sudah!”
“Bapa ini cerewet e....”
“Eh, Nana, manga baen le meu spisa...,” akhirnya kalimat yang akrab saya dengar saat masa kecil itu keluar dengan tegas dan gagah dari mulut saya.
Setelah agak jeda, saya kemudian berpikir, ada benarnya juga orang tua kami dulu.
Dengan pola yang sama, kadang pernyataan bernada ancaman itu saya pakai juga ketika mengajar di kelas. Contoh situasinya seperti berikut ini.
Misalnya kita sudah jelaskan pada pertemuan awal dengan mahasiswa, bahwa kalau membuat tugas itu jangan asal salin-tempel dari internet. Kita jelaskan, bahwa kalau mau menulis dengan baik, bacalah dulu sumber-sumber terkait sebanyak mungkin.
Saat membaca, pahami betul isinya apa. Lalu, buatlah ringkasan menggunakan kalimat sendiri. Setelah ringkasan materi sudah banyak, atau telah sesuai dengan kebutuhan, maka baru kita menulis dengan kalimat sendiri dengan tetap memberi kredit kepada penulis aslinya dalam bentuk sitasi dan daftar pustaka.
Kita telah jelaskan pelan-pelan, detail, ditambah dengan contoh-contoh. Tapi, begitu tugas itu datang, dari tampilan sepintas saja kita sudah tahu itu salin dari blog di internet. Pusing, kan?
Maka ketika sudah seperti itu, saya biasanya malas untuk marah-marah. Saya hanya bilang, kalau kalian tidak berjuang keras sejak saat masih kuliah, maka kalian akan susah bersaing dengan lulusan lain di dunia kerja.
“Nanti kamu lihat saja,” kalimat seperti itu meluncur begitu saja.
Tanpa sengaja, saya temukan di Alkitab sebuah ayat yang mirip dengan tema kita kali ini. Kalau kita membaca kisah pada Yohanes 13, itu peristiwa ketika Yesus menyadari sebentar lagi Ia akan wafat sehingga perlu melakukan perpisahan dengan para murid dan membasuh kaki mereka.
Tapi, di situ terjadi percakapan yang cukup panjang dengan murid-muridnya. Mungkin saja Yesus berpikir, saya punya rasul ini sudah mengikuti saya sejak lama dan belajar bersama, tetap saja belum mengerti.
Mungkin Yesus juga putus asa, akhirnya pada Yohanes 13:7 Ia berkata: “Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak.”
Selamat berhari Minggu dan salam #JalanPagi, semoga kita semakin sehat, kuat, bersemangat, dan bermanfaat!
#JalanPagi
Siapa yang dulu kesel dengar “manga baen le meu spisa” atau “nanti kamu tahu sendiri” dari orang tua, tapi sekarang malah pakai kalimat itu ke anak/sendiri? Cerita dong di komentar. Pasti rame ini.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar