![]() |
| Pernah diterbitkan di Victory News edisi Minggu, 28 Januari 2018 |
Mama Sabina mengurut tangannya di dada saat melihat anaknya turun dari sepeda motor seorang tukang ojek. “Ada apa lagi ini?” desisnya pelan.
Anaknya tampak jalan sempoyongan. Mama Sabina segera bergegas dari kandang babi, hendak menemui anaknya itu.
Dia panggil-panggil nama anaknya, tapi tidak ada sahutan balasan. Ternyata anaknya sudah di kamar. Saat memasuki kamar itu, Mama Sabina mencium bau sopi yang menyengat. Anaknya tidur telungkup.
“Kenapa kamu pulang, Markus!?” tanya Mama Sabina dengan sedikit membentak.
Anaknya bergeming. Mama Sabina menggoyangkan bahunya pelan-pelan, sambil terus bertanya kenapa ia pulang.
“Saya tidak mau sekolah lagi!!!” balas Markus dengan suara keras.
Mama Sabina mengurut dada lagi dengan kedua tangannya. Ia hanya bisa menatap dengan pandangan kosong. Sesaat kemudian ia keluar dari kamar anaknya. Pintu kamarnya ia banting dengan keras sambil mengomel tidak jelas.
“Kamu punya anak tidak mau sekolah lagi,” lapor Mama Sabina kepada suaminya Gaba yang baru pulang menggembalakan sapi.
“Apa lagi ini?”
Mama Sabina menjelaskan hal yang terjadi sebelum Bapa Gaba tiba di rumah.
“Anakmu itu sudah gila!”
“Anakmu!” balas Mama Sabina.
“Kamu selalu begitu. Bila Markus berulah, maka ia disebut anakku. Sewaktu dia pernah sekali berprestasi di sekolah, berulang-ulang kau sebut ia anakmu,” Bapa Gaba terlihat agak kesal. Dia ambil rokok dari saku celana bagian depan, kemudian mulai merokok.
“Akhh Bapa, tidak usah bertengkar yang aneh-aneh dulu! Pikirkan dulu soal Markus,” gerutu Mama Sabina. Tangannya sibuk memotong dan mengupas singkong untuk makan malam.
“Biarkan saja, mungkin dia mau kawin,” balas Bapa Gaba dengan ketus. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam.
“Kawin bagaimana, anak orang mau dikasi makan apa nanti?”
“Mungkin dia mau kerja kebun dan pelihara sapi?”
“Nasibnya harus lebih baik dari kita, Bapa!” Mama Sabina berdiri mengangkat ubi dalam periuk ke atas tungku. Ia tidak menatap lagi wajah suaminya. Jangankan menatap, menoleh saja tidak. Ia diam saja dengan mimik wajah tegang. Bapa Gaba paham, istrinya mengambek. Artinya jangan diganggu dulu bila tidak ingin terjadi perang dunia yang kesekian kalinya. Bapa Gaba berdiri, mengambil handuk dan menuju kamar mandi.
Makan malam telah tersedia. Ubi rebus, sayur rumpu-rampe yang terdiri dari jantung pisang, daun ubi, dan bunga pepaya. Ditambah sambal sederhana yang terdiri dari lombok yang dicampur dengan potongan tomat, bawang, dan daun kemangi. Hidangan yang cukup nikmat, tapi terasa hambar oleh suasana.
“Bapa, mungkin dia tidak tahan dengan aturan di sekolah dan asrama,” akhirnya keluar juga kata-kata dari mulut Mama Sabina setelah agak lama terkunci.
“Para Pastor di sana mendidik anak kita supaya baik, kan?”
“Coba nanti Bapa tanyakan sama Markus,” Mama Sabina berbicara dengan nada dan mimik memohon.
“Kamu kan ibunya.”
“Terus Bapa?” tanya Mama Sabina yang tampak kesal. Tanpa bicara banyak lagi, ia berjalan menuju kamar anaknya lagi. Sempat agak ragu, namun akhirnya ia masuk juga tanpa mengetuk atau memanggil nama anaknya terlebih dahulu.
Dia membangunkan anaknya dengan hati-hati dan berbicara lebih lembut dari sebelumnya. “Nana[1], mama tanya baik-baik neh, kenapa kamu pulang ke rumah? Ada masalah di sekolah atau asrama?”
Markus hanya menggeleng, posisi tidurnya tidak berubah.
“Terus, kenapa sudah?!” suara ibunya agak meninggi.
“Aeh, saya mau berhenti saja,” jawab Markus dengan nada kesal. “Saya rasa malas saja untuk sekolah.”
Mama Sabina tidak ingin terus bertanya. Apalagi dia menyadari, anaknya masih dalam pengaruh alkohol. Saat keluar dari kamar anaknya, ia berpapasan dengan Bapa Gaba di ruang tengah yang baru datang dari arah dapur. Dia tarik tangan suaminya ke kamar. Mama Sabina menangis. Bapa Gaba terduduk bisu di pinggir tempat tidur dengan wajah murung.
Markus bukan baru sekali berulah seperti ini. Pertama, sewaktu dia kelas 2 SMP. Ia lari dari asrama sekolah dalam kondisi yang sama saat ini, mabuk sopi. Saat itu dia minta pindah ke sekolah negeri yang tidak diwajibkan tinggal di asrama.
Kedua, setamat SMP, Markus kembali disekolahkan di SMA Katolik. Dia tinggal di asrama sekolah. Belum sampai satu semester, Bapa dan Mamanya mendapat surat dari sekolah, diberitahukan bahwa Markus telah sebulan menghilang dari asrama dan sekolah. Bapa Gaba pusing mencarinya ke mana-mana.
Saat uang jajannya habis, barulah ia pulang ke rumah, juga dalam kondisi mabuk sopi. Meskipun Bapa dan Gaba marah-marah dan Mama Sabina sampai menangis, dia tidak peduli. Alkohol telah mengeraskan kepala dan hatinya. Dia hanya mengatakan satu hal, “Saya tidak mau sekolah!” Orang tuanya tidak mau memaksa. Ia dibiarkan tinggal di kampung bersama mereka. Setiap hari ia ikut bekerja di sawah atau kebun dan menggembalakan sapi. Kadang-kadang membantu Mama Sabina mencari daun ubi yang telah tua untuk makanan babi.
Pada tahun ajaran baru, Bapa Gaba dan Mama Sabina kembali menawarkan Markus untuk sekolah lagi. Mereka merasa kasihan, anaknya bekerja keras sebelum waktunya. Setelah melalui diskusi yang panjang, Markus pun kembali bersekolah. Tapi, kini dia masih melakukan hal yang sama lagi.
Bapa Gaba dan Mama Sabina terus berdiskusi malam itu. Keduanya tidak tidur lebih awal sebagaimana biasanya. Mereka menganalisis kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada Markus. Sampailah mereka pada sebuah kesimpulan yang paling masuk akal. Mereka juga sudah menyiapkan langkah penyelesaiannya.
“Sudah, tidur dulu Ma,” kata Bapa Gaba sambil memeluk Mama Sabina, “Esok pagi baru kita selesaikan.” Mama Sabina membalas pelukan itu, memejamkan mata, melepaskan segala penat di kepala dan tekanan di dada.
Bapa Gaba buru-buru masuk ke dapur. “Ma, nanti siapkan kopi pahit. Sebentar lagi Ema[2] Mundus menyusul ke sini,” kata Bapa Gaba dengan napas yang masih tersengal-sengal. Mama Sabina yang sedang menjerang air di tungku hanya menjawab dengan anggukan dan sedikit senyuman.
“Bagaimana, kita bangunkan Markus sekarang?” tanya Mama Sabina.
“Jangan! Tunggu Ema Mundus,” Bapa Gaba mengatakan lebih lanjut, “biar nanti Markus lebih yakin lagi.”
Ema Mundus yang dinanti pun datang. Setelah disambut dengan basa-basi sebentar oleh Mama Sabina dan Bapa Gaba, beliau langsung memberi perintah untuk segera panggilkan Markus. Mama Sabina mengedipkan mata ke Bapa Gaba, kemudian dia ke dapur mengambil kopi yang telah disiapkan sebelumnya.
Ema Mundus merupakan tetua adat dan orang yang paling dihormati sekampung. Semua orang segan terhadapnya. Begitu pula dengan keluarga Mama Sabina. Bahkan, Markus lebih patuh dengan beliau daripada orangtuanya sendiri. Ema Mundus juga dikenal memiliki banyak ilmu-ilmu alam dan sering memberi solusi bagi setiap persoalan yang terjadi di kampung.
Markus keluar kamar sambil mengucek-ngucek matanya. Ia langsung menunduk sopan di hadapan Ema Mundus. Mama Sabina menyilakan kopi sambil memberi isyarat kalau kopinya memang pahit. Dia memberi tanda khusus ke Markus agar dia minum saja tanpa banyak tanya.
“Kenapa kau lari dari sekolah, Nana?” tanya Ema Mundus sambil membakar rokok.
“Aeh Ema, saya rasa malas saja ke sekolah,” jawab Markus agak kikuk.
“Kenapa malas?”
“Aeh, tidak tahu lagi. Pokoknya malas saja, Ema.”
“Ya sudah, segera habiskan kopinya. Begitu hampir habis, nanti telungkupkan gelasnya, ya! Biarkan sisa kopinya meniris.”
Markus hanya mengangguk dan segera melakukan semua instruksi itu.
Tidak lama kemudian, “Antar ke sini gelas kopinya,” pinta Ema Mundus.
Markus menyerahkan gelas kopi yang sudah ditiris ampasnya. Ema Mundus mengangkat gelas itu sejajar dengan matanya, kemudian mengamati setiap sisinya. Gelas itu diputar-putar, diangkat lebih tinggi dari matanya, kemudian diturunkan lagi. Kurang lebih dua menit, gelas itu diletakkan kembali di atas tikar.
“Ada temanmu yang berjenggot?” tanya Ema Mundus kemudian.
“Hampir semua teman laki-laki saya berjenggot, Ema,” jawab Markus.
“Ya, tapi ada satu yang selalu bersama kamu.”
Markus hanya mengangguk kurang yakin. Ema Mundus meneruskan, “Dia yang ‘buat’ kamu tidak betah sekolah.”
Semua hening sejenak, saling pandang dengan banyak pertanyaan di mata. “Terus bagaimana sudah, Ema?” Mama Sabina memecahkan keheningan itu.
“Gampang, siapkan sebungkus rokok,” jawab Ema Mundus enteng.
Bapa Gaba segera mengambil sebungkus rokok dari kamarnya. Bungkusan rokok itu dibuka Ema Mundus, lalu dia tiup-tiup, kemudian mulutnya komat-kamit, diakhiri tiupan pelan yang lebih panjang sebanyak tiga kali.
“Sampai di sekolah nanti,” jelas Ema Mundus, “Ambil satu batang, isap 3 kali saja. Habis itu kau matikan apinya, lalu hancurkan, ambil tembakaunya saja. Tembakau itu, Nana siram di pintu masuk sekolah.”
“Sisanya bagaimana, Ema?” tanya Markus dengan antusias.
“Nana bisa rokok seperti biasanya saja.”
“Saya sudah diperbolehkan merokok?” mata Markus tertuju pada Mama Sabina dan Bapa Gaba.
“Kalau untuk ‘obat’ seperti ini, ya tidak apa-apa,” jawab Mama Sabina dengan nada sedikit berat. Bapa Gaba hanya bisa mengangguk agak ragu.
Markus tiba di asrama sekolahnya. Ia masuk lewat lubang pagar tembok yang terletak di belakang asrama. Lubang itu sering dijadikan jalan keluar bagi siswa yang bolos. Markus segera memanggil teman-teman akrabnya. Ia menunjukkan sebungkus rokok lalu berkata, “Kita berkumpul di tempat biasa. Saya ada informasi penting.” Saat itu ada 10 temannya yang ikut berkumpul.
“Rahasianya apa, Markus?” tanya seorang temannya tidak sabar. Markus tidak segera menjawab. Ia mengambil sebatang rokok yang dibawa dari rumah dan diselipkan di bibir. Kemudian ia bakar ujungnya sambil diisap dalam-dalam. Asap mengepul ke mana-mana.
“Teman-teman, supaya kalian tahu,” Markus menjadi perhatian teman-temannya, “mulai saat ini saya diizinkan oleh orang tua untuk merokok.” Markus menyampaikan informasi itu dengan mimik bangga sambil tertawa pongah.
[1] Panggilan untuk anak laki-laki di Manggarai-Flores
[2] Ema: merupakan panggilan bagi seorang bapak yang dituakan di Manggarai

Tidak ada komentar:
Posting Komentar