Mimpi yang Belum Selesai - SAVERINUS SUHARDIN

Latest

Literasi Keperawatan

Kamis, 04 Desember 2025

Mimpi yang Belum Selesai

Cerpen Saverinus Suhardin yang  pernah diterbitkan di Victory News edisi Minggu, 4 Februari 2018
 Pernah diterbitkan di Victory News edisi Minggu, 4 Februari 2018

Saya sangat kesal dibangunkan pagi-pagi seperti ini. Selama lima hari di rumah Om Nadus, saya merasakan neraka tiap pagi. Barusan adalah neraka keenam. Sementara enak-enakan meringkuk dalam selimut mimpi, goncangan tangan Om Nadus yang kasar dan suaranya yang menggelegar buat saya terpaksa harus menopang kelopak mata yang masih berat. “Bangun sudah, Nana[1]!” desak Om Nadus.

Saya menggeliat malas di atas kasur. “Mari sudah! Kita minum kopi dulu,” lanjut Om Nadus. Saya hanya meresponsnya dengan mengangguk malas. Lumayan, ia percaya dan keluar dari kamar. Saya menarik kembali selimut hingga menutupi semua kepala. Ini bulan Januari, hujan gerimis sejak semalam belum juga berhenti. Semakin menambah cuaca dingin di kampung Ruteng yang berada pada dataran tinggi ini.

“Nannnaaaaa...!?” terdengar lagi suara yang lebih meninggi dan panjang. Saya tersentak dalam selimut dan membatalkan niat kembali tidur saat itu juga. Saya paham benar, nada suara itu menandakan harus direspon segera.

Saya tahu benar watak Om Nadus dan istrinya Tanta Mia. Waktu SMA, saya tinggal bersama mereka. Sekolah saya dulu tidak jauh dari rumah mereka. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit kalau jalan kaki dengan ritme paling santai. Mereka sangat baik dengan saya. Mungkin karena mereka belum dikarunia anak, sehingga saya pun mereka perlakukan seperti anak sendiri. Mungkin juga karena Om Nadus itu saudara kandung dari ibu. Atau entah ada alasan lain. Setelah lulus SMA, saya lanjutkan merantau ke Kupang untuk kuliah. Saat ini saya pulang libur ke Manggarai. Selagi di kampung, saya sempatkan mengunjungi mereka.

“Mari, minum kopi,” tawar Om Nadus lagi saat saya muncul dari pintu kamar. Ia sedang sibuk menulis sesuatu di buku catatan. Selain itu, di hadapannya ada secangkir besar kopi khusus untuknya. Ada segelas lagi kopi di sana, tapi dalam gelas kecil biasa. Saya tebak itu untuk saya. Sementara itu, Tanta Mia sibuk memasak di dapur. Di luar masih turun gerimis. Jendela kaca di hadapan kami dipenuhi bintik-bintik bening. Angin dingin berembus pelan lewat ventilasi di sebelah atas jendela kaca.

“Brrrr, dingin eh..,” saya mengeluh sambil menggigil. “Makanya minum kopi.” “Kopinya sudah ikut dingin.” “Makanya sekali panggil, langsung datang.” “Dingin, Om.” “Nikmati sajalah...”

Saya mengangguk setuju sambil menenggak kopi yang hampir dingin itu. Om Nadus tampak asyik dengan buku catatannya. Saya perhatikan ia menulis angka-angka. Gayanya mirip ilmuwan yang sedang memecahkan sebuah rumus yang rumit.

“Kamu ada mimpi?” pertanyaan itu rasanya seperti kewajiban tiap pagi. Saya sebenarnya ingin memberitahu kalau tidak ada mimpi sebelum ia bertanya. Tapi, Om Nadus tetap lebih cepat dari biasanya. Saya hanya menjawab dengan gelengan kepala. “Akh, kamu ini tidur seperti orang mati saja, tidak ada mimpi,” lanjutnya. “Tadi saya sedang mimpi, tapi Om bangunkan. Saya sudah lupa jalan ceritanya.” “Coba ingat-ingat dulu,” pintanya sambil terus menulis angka-angka di buku catatannya.

Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Kebiasaan Om Nadus ini belum berubah juga sejak dulu. Tiap pagi menanyakan mimpi. Tiap hari menuliskan angka-angka seperti matematikawan. Setiap kali minum kopi, ampasnya ditiriskan untuk dilihat gambaran apa yang terbentuk di gelasnya. Semuanya akan dianalisis, didiskusikan dengan siapa saja sampai disimpulkan 4 deretan angka keramat.

Bila telah ditemukan angka yang menurutnya tepat, ia segera ke rumah agen yang menerima layanan judi nomor buntut. Kadang mereka juga menyebutkan judi kupon putih. Serta ada lagi nama lain agar tersamar dari pelacakan polisi.

“Bagaimana, sudah ingat mimpinya?” Saya terkaget, padahal Om Nadus masih menunggu betulan. Saya gelagapan, sejak tadi malah memikirkan hal-hal yang lain. “Iii..ya.., su..dah,” saya terbata karena kurang yakin. “Nah, bagaimana?” desaknya tidak sabar.

Celaka! Barusan saya sekadar mengiyakan saja, padahal memang tidak ada mimpi apa-apa semalam. Saya sangat menyesal terlanjur mengucapkan kata “Iya” barusan. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjut basah, ya mandi sekalian sudah.

“Hmm...,” saya pura-pura mengingat, padahal sedang berpikir membuat cerita, “saya tidak ingat jelas kejadian sebelumnya. Saya hanya melihat Om Nadus sedang mengendarai sepeda motor, kencang sekali. Mirip pembalap. Lalu...”

“Nah, persis kalau begitu,” potong Om Nadus, “hasil cakaran saya persis dengan nomor pelat di depan. Saya harus segera isi angka itu.”

“Omm..,” saya berusaha mencegahnya sebentar, tapi ia buru-buru berdiri dan berlari ke kamar. Tidak lama kemudian ia keluar dengan jaket tebalnya. Saya hendak mencegahnya lagi, tapi dia malah buru-buru sambil berpesan, “Tunggu di sini, tidak lama nanti.”

Saya mengejarnya sampai ke halaman rumah, tapi hanya mendapati kepulan asap motornya saja. Ia menghilang di belokan jalan, suara raungan sepeda motornya terdengar makin meredup. Saya hanya bisa melongo dengan perasaan tak menentu.


“Om kamu memang begitu,” Tanta Mia mengagetkan saya dari belakang, mari lanjutkan minum kopinya di dalam.” Saya mengekori Tanta Mia, menuju meja tempat cangkir kopi diletakkan. “Saya kira judi kupon putih ini sudah ditutup.” “Mungkin tidak pernah akan berakhir,” Tanta Mia mengatakan dengan mimik sedih. Saya memahami perasaannya. Selama ini ia berusaha tabah menghadapi tingkah laku Om Nadus yang ketagihan judi kupon putih. “Saya baca di koran dulu, katanya sudah tutup. Agen dan bandar lokalnya banyak ditahan. Kok tidak jera, ya?” “Hmmm...Nana, kalau oknum polisi juga ikut ‘main-main,’ siapa yang mau larang siapa?”

Saya bingung mau mengatakan apa lagi. Saya tenggak kopi yang tersisa hingga tandas. Saya ingin mengometari tentang oknum polisi yang tidak profesional itu, tapi deringan telpon tiba-tiba menyela. Tanta Mia segera mengambil hp itu, memencet tombol dan mendekatkan di antara telinga dan mulutnya. Saya tidak bisa mendengar suara penelepon itu. Tapi Tanta Mia terlihat cemas, “Apa..??? Nadus jatuh motor?” teriaknya histeris kemudian menggigit ujung jari telunjuk. Saya melongo sesaat, kemudian sigap mendekati Tanta Mia. Saya berusaha menenangkannya. “Ayo, kita ke puskesmas!” bentaknya. Saya menuruti saja tanpa banyak komentar.


Saya belum memarkir motor dengan baik, Tanta Mia sudah melompat dan berlari ke arah pintu puskesmas. “Nadussss.., Naduusss, kau tega sekali e...,” teriak dan tangisnya bercampur. Saya melihat seorang perawat berusaha menenangkan Tanta Mia. Segera saya susul, ingin tahu kondisi yang sebenarnya.

Menurut perawat, kondisi Om Nadus sudah relatif stabil. Saya lega dan Tanta Mia terlihat lebih tenang. Diceritakan kalau Om Nadus diantar oleh tiga orang pemuda dari kampung tetangga. “Pak Nadus menabrak tiang listrik, begitu informasi dari pengantar,” jelas perawat dengan lembut, “kalau selesai rawat lukanya baru boleh masuk, ya!?” lanjutnya. Kami mengangguk dengan antusias. Perawat kembali masuk ke dalam.

Sepuluh menit kemudian perawat keluar lagi dan menjelaskan, “Sekarang sudah bisa jenguk. Tapi, biarkan Pak Nadus tiduran dulu. Beliau memang sadar baik, tapi kita tetap waspada. Benjolan di dahi sebesar bakpao itu bisa berpotensi mengalami perdarahan otak. Makanya dianjurkan lebih banyak istirahat dulu.”

“Terima kasih, suster,” saya dan Tanta Mia menyahut hampir bersamaan. Kami bergegas masuk ruang perawatan. Tanta Mia jauh lebih cepat. Ia segera memeluk Om Nadus sambil meratap. Tapi, Om Nadus segera mencegahnya. “Heh, kau jangan bikin ribut di sini!” Tanta Mia mengecilkan suaranya, ia terus saja meratap. “Heh, diam sudah! Saya tidak apa-apa. Orang di sini butuh istirahat,” kata Om Nadus sambil menunjuk ke pasien-pasien lain. Tanta Mia tetap sesenggukan, kali ini semakin pelan.

Secara umum memang kondisi Om Nadus telihat baik. Ia tidur dengan posisi bagian kepala lebih tinggi. Tampak ada benjolan di dahi yang sudah ditutup perban berwarna putih. Cairan infus terus menetes dan teralir ke tubuhnya lewat vena di tangan bagian kanan. Selang oksigen juga masih terpasang di hidungnya.

“Tadi bagaimana sampai bisa jatuh, Om?” saya beranikan bertanya meski tahu suasana kurang kondusif. Tapi saya segera merasa lega saat melihat mimik wajah Om Nadus yang tetap santai.

“Begini,” Om Nadus mulai bercerita, “tadi sepulang dari agen kupon putih di kampung sebelah, saya mengendarai sepeda motor sambil menghayal. Dalam hayalan itu saya merasa angka yang diisi tadi tepat dan mendapatkan banyak uang. Saya bahagia sekali. Eh, begitu saya sadar, jarak dengan tiang mungkin hanya 5 cm saja. Ban depan menabrak tiang, dan saya merasa seperti ikut terbang ke depan, dahi terbentur tiang listrik. Sial betul. Tadi lupa pakai helm karena buru-buru mau isi cepat itu angka.”

“Persis!” Saya mendesis pelan. Tanta Mia ternyata mendengarnya, “Persis apanya, Nana?” Saya hampir kelabakan mau omong apa. “Hmmm..., mak..maksdunya, persis seperti mimpi yang belum selesai saya ceritakan tadi pagi.”

“Memangnya apa yang belum selesai, heh?” tanya Om Nadus. Saya agak khawatir menjelaskannya, takut dimarahi Om Nadus dan Tanta Mia. Tapi sudah terlanjur, mereka pasti terus mendesak agar saya bercerita. “Tadi pagi saya sebenarnya melarang Om Nadus untuk berangkat dengan sepeda motor. Saya mau meneruskan cerita, tapi Om malah menyela. Berapa kali saya berusaha, Om tetap kukuh. Padahal lanjutannya saya mau menerangkan kalau Om akan jatuh,” saya menyampaikan dengan perasaan bersalah.

“Makanya biasakan mendengarkan orang lain, Nadus!” suara Tanta Mia agak menekan saat menyebut nama suaminya itu. “Eh, tapi tidak apa-apa,” sergah Om Nadus, “kalau saya benar-benar jatuh, berarti angka yang saya isi tadi pasti tepat juga. Sekarang jam berapa?” Saya melirik arloji di lengan kiri, “Hampir jam 13.00, Om.”

“Mana hp saya?” tanya Om Nadus sambil meraba saku celana. “Itu,” Tanta Mia menunjuk di atas lemari khusus pasien. “Tolong cek sms-nya, ya?!” pinta Om Nadus. Saya segera meraih hp tersebut dan mengecek sms. “Ada sms dari yang nama kontaknya: Felix, Om” “Itu dia. Tolong buka!” “Angka yang keluar, 1989!” “Aduh! Selisih sedikit. Lasu betul!!! Saya tadi isi 1988,” Om Nadus memukul dahinya dengan keras. “Adowww...adowww, adowww...,” kali ini Om Nadus menjerit kesakitan. Ia tidak menyadari ada benjolan di dahi. Semua pasien di ruangan itu memandang ke arah kami. Tidak lama kemudian, perawat juga datang. Saya buru-buru ke luar sambil menahan tawa.


[1] Nana: sapaan umum untuk lelaki muda di Manggarai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar