Kejutan Ganda di Mataloko: Dari John Hersey Murah Hingga Roti 'Kelas Eropa' Kemah Tabor - SAVERINUS SUHARDIN

Latest

Literasi Keperawatan

Rabu, 03 Desember 2025

Kejutan Ganda di Mataloko: Dari John Hersey Murah Hingga Roti 'Kelas Eropa' Kemah Tabor

Penulis (Saverinus Suhardin) bersama penjaga toko buku di Kemah Tabor

Ketika saya mengikuti sebuah kelas menulis daring, mentornya menyarankan buku karya John Hersey yang berjudul "Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan" sebagai salah satu bacaan yang bagus untuk belajar bagaimana menulis reportase atau laporan kisah nyata dengan gaya penulisan fiksi atau biasanya dikenal dengan istilah jurnalisme sastrawi.

Saya langsung penasaran dengan buku tersebut, kemudian mengeceknya di pasar daring. Ada, tapi lokasi penjualnya di Jawa. Saya coba mengontak pedagangnya dan ia memberitahu harganya yang lumayan besar, ditambah ongkos kirim dari Jawa ke Kupang, NTT yang jauh lebih mahal dari harga bukunya.

Saya tidak jadi memesan, tapi tetap berkomitmen dalam pikiran untuk tetap berupaya mendapatkan buku itu suatu saat, entah kapan. Setelah itu saya tidak terlalu memikirkan perihal buku itu lagi; saya kembali tenggelam dalam berbagai rutinitas.

Hingga menjelang Mei 2024, saya mendapat penawaran atau penugasan dari PPNI NTT untuk mengikuti kegiatan Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) yang berlangsung di Kemah Tabor, Mataloko, Kabupaten Ngada.

Saya memutuskan untuk ikut, sebab informasi seputar lokasi kegiatannya pernah saya baca lewat tulis Valentino Luis di sebuah majalah penerbangan yang ada versi digitalnya.

Saya suka membaca liputan Valentino Luis, sebab selain hasil karya fotonya bagus, cara ia menulis juga terasa gres. Dari salah satu tulisannya itu, saya mulai tahu seperti apa itu Kemah Tabor.

Ada banyak informasi dari tulisannya, mulai dari arsitektur bangunan itu, siapa perancangnya, tokoh-tokoh yang punya andil dalam pembangunannya, fungsi atau penggunaan bangunan, dan lain-lain.

Saya terpikat ketika Valentino Luis bercerita saat ia melihat kuburan para Pater SVD yang berada paling belakang "Rumah Tinggi" itu, ia mencium bau roti panggang. Ia kemudian menyapa karyawan yang bekerja di sana, lalu ia disilakan masuk dan mencicipi roti khas Kemah Tabor itu.

Menurut laporan Valentino Luis, roti itu masih diproses dengan alat-alat peninggalan misionaris dari Belanda atau Jerman. Saya agak lupa persisnya, tapi pendiri bangunan itu pada awalnya merupakan misionaris SVD yang berasal dari kedua negara tersebut.

Roti balok itu ukurannya terbilang besar dan warnanya agak kecoklatan. Saya membayangkan rasanya, tentu saja berbeda dengan roti yang ada di tempat lain di wilayah NTT.

Saya berpikir, kalau alat panggangnya saja didatangkan dari luar negeri, pasti resep dan cara pembuatannya juga mengikuti standar orang Belanda atau Jerman. Para misionaris itu tidak hanya mengajarkan tentang Agama Katolik, tapi juga menunjukkan bagaimana kehidupan mereka di tempat asalnya—termasuk cara bikin roti.

Ada lagu semasa saya kecil yang liriknya menunjukkan ada asosiasi antara roti dan Belanda. Atau umumnya kita tahu, orang Eropa itu suka makan roti.

Dengan bayangan seperti itu, saya yakin roti di Kemah Tabor itu berkualitas. Ia memang dibuat di Ngada, tapi standar pembuatannya kelas Eropa.

Salah satu jenis roti yang dijual di Kemah Tabor
Roti khas Kemah Tabor


Saya bersama rombongan dari Kupang tiba di Mataloko, Ngada pada Jumat, 24 Mei 2024 pagi. Itu pengalaman #JalanPagi yang cukup menantang, sebab begitu tiba kami langsung mengikuti kegiatan inti. Kami rapat marathon dari pagi hingga tengah malam.

Hari kedua lumayan santai, sebab ada kegiatan rekreasi ke beberapa lokasi wisata terkenal yang ada di Ngada. Lalu hari ketiga, Minggu, 26 Mei 2024, kami bersiap-siap kembali ke Kupang. Saat itulah saya ingat kembali roti khas Kemah Tabor itu.

Saya sudah mencari tahu informasi sebelumnya, kalau ingin membeli roti tersebut, harus pesan dulu di kantor sekretariat Kemah Tabor. Kantor itu disatukan dengan tempat penjualan aksesoris rohani.

Ketika saya masuk ke sana, saya disambut oleh seorang kaka nona orang Mataloko yang merupakan salah satu karyawati Kemah Tabor. Tujuan utama saya memesan roti, tapi biar urusannya lancar, maka saya berbasa-basi sebentar dengan pelayannya itu.

Supaya urusan basa-basi itu tidak terlalu basi, maka saya ajak dia ngobrol sambil menanyakan harga barang-barang yang ada di sana. Mata saya memeriksa isi tiap rak kaca. Oh, ternyata ada buku-buku juga. Saya coba melihat-lihat, barangkali ada yang menarik.

Saya begitu kaget, buku yang saya cari-cari sebelumnya menyempil di antara buku lain dan berada pada rak kaca paling bawah. Itu buku John Hersey yang saya incar selama ini, ternyata ada di toko Kemah Tabor itu. Harganya juga begitu murah, hanya Rp 35.000—saya sampai ulang-ulang memastikan harganya.

Saya langsung membayarnya, termasuk dengan buku "Filsafat itu Indah" dan dua buku lain tentang Pendidikan Nilai yang dibuat oleh Tim Pastoral Pendidikan Nilai Kevikepan Bajawa, Keuskupan Agung Ende.

Setelah membeli 4 buku, saya makin akrab dengan kaka nona pelayan itu, hingga akhirnya bisa foto bersama. Setelah berteman baik, saya mulai bertanya tentang roti.

"Aduh, Kaka, kalau mau beli roti di sini harus pesan dulu sebelumnya," jawabnya.

Saya tahu itu sinyal yang kurang bagus. Tapi karena sudah akrab, saya memohon dengan alasan sebagai oleh-oleh spesial untuk anak dan istri di rumah.

Akhirnya ia luluh, lalu mengajak saya ke bagian dapur. "Kita coba lihat sama-sama saja," katanya lagi, "semoga masih ada nanti."

Saya mengekor dia menuju ke dapur belakang. Dari jauh, bau khas roti panggang bergoyang di rongga hidung. Saya melihat beberapa ibu sedang mengolah adonan, ada pula yang sedang memperhatikan alat panggang.

Saya tiba pada waktu yang tepat. Beberapa menit setelahnya, beberapa roti telah matang. Saya langsung minta bungkus, tapi masih terlalu panas.

Sembari menunggu agak dingin, saya coba bertanya pada ibu-ibu di sana mengenai riwayat roti Kemah Tabor itu. Keterangan mereka kurang lebih sama dengan apa yang telah dinarasikan oleh Valentino Luis sebelumnya.

Sebenarnya ada dua jenis roti andalan di sana. Satu roti balok dan satunya lagi roti bulat dengan isian selai kacang tanah. Karena banyak sekali pemesan hari itu, saya hanya dapat beberapa biji roti isi kacang dan lebih banyak membeli roti balok.

Suasana dapur pembuatan roti Kemah Tabor
Suasana dapur pembuatan roti Kemah Tabor

Roti Kemah Tabor telah siap, dan kami segera pulang ke Kupang. Saya tidak sabar ingin segera tiba di rumah. Rasanya sudah lama saya tidak memberi kejutan buat orang-orang tercinta di rumah.

Dan memang begitu tiba, pertanyaan pertama mereka adalah: ada bawa apa dari Bajawa? Pertama, saya tunjukkan buku-buku. Mereka agak kecewa dan spontan berkomentar, "Buku lagi, buku lagi, memang itu bisa bikin kenyang?"

Oke, mungkin kejutan pertama gagal, kali kedua pasti berhasil. Saya tunjukkan roti Kemah Tabor itu dan coba menjelaskan asal-usul dan riwayat yang cukup panjang.

"Roti begini sa?" kata istri saya.

"Begini sa!? Ini roti kelas Eropa. Memang buatnya di Ngada, tapi standar pembuatannya kelas Eropa," saya coba meyakinkan mereka.

"Aduh, kami biasa buat roti begini di rumah. Saya punya mama biasa buat dulu waktu kami kecil."

Saya diam dan coba mengingat-ingat. Ia bahkan belum berhasil membuat pisang goreng bagus, apalagi roti kelas Eropa begini. Kejutan itu tidak membuat mereka benar-benar terkejut.

Sudahlah, saya sibuk dengan buku-buku saja. Saya langsung membaca karya John Hersey dan memang sebagus itu. Tidak heran bila karya jurnalistik yang pertama kali terbit di media massa The New Yorker pada Agustus 1946 itu diakui sebagai karya jurnalisme Amerika terbaik abad ke-20.

Saya juga masih terkagum dengan proses menemukan buku itu, benar-benar sebuah kejutan. Sejak dulu saya membaca buku "Kekuatan Pikiran", saya jadi percaya dengan kekuatan mimpi. Entah sudah berapa kali, apa yang saya impikan dengan sungguh-sungguh pada akhirnya bisa tercapai dengan cara-cara yang tidak terduga.

Menurut buku "Kekuatan Pikiran" itu, ketika kita menginginkan sesuatu dengan sungguh-sungguh, maka Tuhan dan alam semesta akan berkonspirasi mewujudkannya.

Dan proses mendapatkan buku "Hiroshima" itu kembali membuat saya yakin dengan kekuatan mimpi itu. Makanya saya juga senang dengan lirik salah satu lagu Bondan Prakoso & Fade2Black, hidup berawal dari mimpi.

Keesokan harinya, ketika pulang dari tempat kerja, saya memimpikan segera makan roti Kemah Tabor lagi. Saya bersyukur orang di rumah tidak berselera dengan roti kelas Eropa.

Begitu tiba, saya cek di kulkas dan tempat-tempat penyimpanan makanan lain, tidak ada lagi roti Kemah Tabor itu. Saya konfirmasi, mereka jawab malu-malu, "Sudah habis..."

Itu kejutan baru lagi bagi saya. Katanya tidak selera, tapi nyatanya habis tak tersisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar