![]() |
| Buku cerita anak "Bermain Caci" yang ditulis oleh Saverinus Suhardin |
Hingga saat ini, saya masih sering temukan beberapa penulis kawakan atau pemerhati cerita anak mengeluhkan kuantitas dan kualitas buku cerita anak di Indonesia. Sebenarnya ada upaya dari pemerintah untuk meningkatkan jumlah bahan cerita anak, tapi masih menurut para pesohor dalam bidang penulisan itu, hasilnya belum cukup memuaskan.
Menurut mereka, mutu buku anak-anak di Indonesia masih rendah. Termasuk buku-buku yang dibuat melalui program pemerintah, ada yang mengatakan kualitasnya buruk. Dan saya salah satu penulis yang pernah menyumbang tulisan yang mungkin seperti penilaian mereka itu.
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pernah menyelenggarakan Sayembara Cerita Anak pada tahun 2019 dan para juri menilai semua naskah yang masuk ke panitia tak ada yang bagus.
Juri pun memutuskan tidak ada yang berhak mendapatkan juara 1, 2, dan 3. Mereka hanya menyebutkan beberapa karya yang nyaris memenuhi kriteria tim juri, tapi tidak bisa kesampaian.
Keputusan juri yang kontroversial itu memantik diskusi panjang. Pendapat sangat beragam di media sosial maupun media arus utama. Apa pun itu, peristiwa itu menegaskan kalau menulis cerita anak memang rumit.
Semenjak menyenangi cerita dan pada saat bersamaan telah memiliki anak, saya mulai yakin kalau anak-anak memang butuh cerita yang bagus.
Sebelum Gibran—anak pertama kami—lahir, saya mengikuti beberapa komunitas literasi, sehingga makin paham tentang pentingnya bercerita kepada anak sejak kecil. Bahkan ketika anak masih di dalam kandungan.
Entah saya mendapat pengetahuan dari mana, ada yang menganjurkan agar kita mesti membiasakan berkomunikasi dengan janin. Memang tidak ada respons langsung yang bisa kita lihat, tapi saya tetap percaya dan pernah melakukan anjuran tersebut.
Selain bicara spontan, kadang saya membaca buku cerita. Memang saat itu tidak begitu rutin, tapi saya pernah melakukannya beberapa kali.
Ketika Gibran baru lahir, saya terus melakukannya. Saya tidak peduli dia sudah mendengar atau memahami bahasa dengan baik atau belum, saya tetap membaca cerita dengan nyaring sesuai anjuran yang pernah saya dengar/baca itu.
Ketika Gibran makin bertumbuh dan berkembang, dia sudah terbiasa dengan cerita. Kadang saya kewalahan juga kalau ia merengek minta didongengi sebelum tidur. Ia sudah ketagihan menikmati cerita.
Kalau sedang rajin dan masih bersemangat, saya berusaha mencari cerita anak yang bagus di Ipusnas, lalu membaca nyaring untuk Gibran. Tapi kalau sedang lelah, saya tinggal putar video cerita anak yang sudah saya unduh sebelumnya.
Ada kalanya perangkat gawai maupun laptop saya tidak bisa digunakan ketika Gibran mendesak minta didongengi. Maka saya harus bisa berimprovisasi mengutak-atik cerita lama yang pernah kami baca bersama, lalu dikisahkan dengan cara baru, sehingga Gibran pikir itu cerita lain.
Kadang saya juga menarasikan ulang apa yang Gibran lakukan sehari-hari, tapi menggunakan tokoh binatang. Misalnya, tokoh monyet. Si monyet itu saya narasikan dalam aktivitas yang persis Gibran lakukan seharian.
“Monyet itu Gibran to…,” biasanya setelah cerita berakhir, Gibran berkomentar begitu, lalu kami tertawa.
Cara yang sama juga saya terapkan ketika menyambut kelahiran adiknya Gibran: Abran. Saya terus berusaha membaca nyaring cerita anak untuk mereka berdua, terserah mereka mau mendengarkan dengan baik atau tidak. Saya hanya tahu, membaca nyaring buat anak itu tindakan kecil yang baik.
Dan ketika percobaan itu sedang berlangsung, saya temukan ada informasi di media sosial, ada Bimbingan Teknis Penulisan dan Penerjemahan Cerita Anak Berbasis Kearifan Lokal di Provinsi NTT pada 11–15 April 2023.
Kegiatan itu diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTT dan mereka menjaring peserta secara terbuka dengan proses seleksi yang lumayan ketat. Hanya dengan modal pernah membaca cerita untuk anak sendiri, saya nekat ikut mendaftar dan ketika nama peserta yang lolos seleksi diumumkan di media sosial Kantor Bahasa NTT, nama saya tidak ada! Ya, sudah, mungkin belum pantas.
Ketika saya tidak memikirkannya lagi, ada sebuah WA masuk yang menginformasikan kalau ia salah satu staf Kantor Bahasa NTT. Ada beberapa informasi yang ia sampaikan, tapi intinya saya tetap dipanggil untuk mengikuti pelatihan menulis cerita anak tersebut. Saya buru-buru membalasnya: siap! Saya pun #JalanPagi ke lokasi pelatihan yang dihelat di salah satu hotel di Kota Kupang.
Kami berlatih selama kurang lebih 5 hari dengan mentor bernama Benny Ramdani. Ia memang sudah banyak menulis cerita anak, jejak karyanya mudah ditemukan di internet. Pengalamannya yang panjang dalam membidani cerita anak itu ia bagikan untuk kami yang datang dari berbagai latar budaya dan bahasa beragam di NTT.
Ada banyak ilmu baru yang saya dapatkan, salah satunya perihal penjenjangan buku anak. Ternyata ada jenis buku yang telah diklasifikasikan berdasarkan usia perkembangan anak. Sebelumnya, saya baca cerita apa saja tanpa pertimbangan penjenjangan buku seperti itu.
Kami juga dilatih banyak hal teknis terkait penulisan cerita anak berdasarkan penjenjangan tersebut. Setiap jenjang memiliki karakteristik tersendiri. Dan tantangannya, kami harus langsung mempraktikkan semua ilmu itu hingga menghasilkan minimal satu cerita yang layak terbit.
Setiap peserta berusaha maksimal, termasuk saya. Terus terang, saya memang mengalami banyak kesulitan. Saya begitu ragu menulis, sebab ada banyak peraturan teknis yang harus dipenuhi.
Saya sebenarnya ingin memperdalam teorinya dulu, tapi dari panitia telah menetapkan tenggat, setiap peserta wajib menyelesaikan minimal satu naskah pada hari terakhir pelatihan.
Saya coba tenangkan diri. Saya berpikir, kalau saya ikuti teorinya mungkin terlalu rumit. Lebih baik saya ingat saja beberapa kenangan masa kecil, lalu tulis ulang dengan menciptakan nama tokoh cerita yang baru.
Saya akhirnya menulis pengalaman masa kecil seputar Bermain Caci. Atraksi atau tarian caci memang untuk orang dewasa, tapi ketika masih kanak-kanak, kami suka membuat tiruannya yang dimainkan di halaman rumah.
Itu tarian caci versi anak-anak yang peralatannya dibuat dari bahan seadanya. Justru di situlah poin kreativitasnya, menurut saya. Anak-anak berupaya memikirkan banyak alternatif agar permainan caci itu bisa berjalan.
Singkat cerita, naskah itu saya serahkan ke panitia, lalu pulang tanpa beban pada hari terakhir pelatihan. Tidak lama setelah itu, panitia dari Kantor Bahasa NTT terus melakukan komunikasi terkait proses penyuntingan naskah.
Panitia juga telah mencari ilustrator buku anak yang cocok. Setelah ilustrasi pertama jadi, panitia mengirim hasilnya ke saya. Mereka minta saya mengecek ulang, barangkali ada yang perlu diperbaiki.
Proses revisi naskah maupun ilustrasi itu berlangsung cukup lama, sampai semua pihak benar-benar puas.
Setelah dianggap lebih baik, saya melihat di berita dan unggahan media sosial Kantor Bahasa NTT, mereka juga melakukan tes pembacaan pada anak-anak di sebuah sekolah di Manggarai.
Entah bagaimana respons dari pembaca awal itu, tapi pada akhir tahun 2023, naskah “Bermain Caci” itu diterbitkan secara digital bersama karya-karya dari peserta yang ikut pelatihan waktu itu.
Saya tentu saja bangga, sebab akhirnya bisa menghasilkan karya cerita anak. Tapi, ketika mengingat kritikan para penulis bagus pada buku cerita anak Indonesia, saya jadi malu mau bagikan karya ini kepada khalayak.
Tapi, saat ini saya sadar, buku cerita anak ini bukan karya saya seorang diri. Ada ilustrator yang telah menggambar dengan sangat baik. Ada editor yang begitu teliti memeriksa naskah hingga dianggap layak terbit. Dan panitia telah melakukan uji coba ke pembaca pertama sebelum diputuskan untuk terbit. Masa masih belum layak?
Anda bisa ikut membaca dan menilainya melalui tautan: https://penerjemahan.kemendikdasmen.go.id/books?id=1717552690837577

Tidak ada komentar:
Posting Komentar