![]() |
| Saya bersama Gibran saat mengikuti lomba mewarnai pada Minggu, 01 Desember 2024 |
Suatu hari pada Oktober 2024, saya baru saja leyeh-leyeh di tempat tidur sepulang kerja, Gibran Suhardin yang saat itu sudah kelas 2 SD menghampiri saya sambil menunjukkan sebuah kertas.
“Bapa, kita daftar ini ko? Kalau juara 1, bisa ke Malaysia.”
Saya menoleh dengan enggan. Demi membahagiakan anak pertama kami itu, saya berusaha membalikkan badan dengan tenaga yang tersisa. Saya terima kertas itu, lalu menyimak isinya sambil berpikir apakah itu penting atau tidak?
“Kita daftar saja ko, Bapa, siapa tahu bisa ketemu dengan Upin-Ipin.”
Saya tertawa sebentar, lalu pura-pura serius menimbang isi informasi pada kertas itu.
Anak 7 tahun itu memang sejak kecil kami arahkan untuk bermain-main dengan pensil warna, kertas gambar, dan perangkat coret-coret lainnya.
Kami melakukan itu tanpa ekspektasi khusus, biar dia ada mainan lain saja selain candu pada gawai. Kalau semuanya ditampung, mungkin barang-barang kecil itu sudah memadati rumah kami yang mungil. Tapi, peralatan seperti itu rawan hilang. Kami beli lagi, belum dimaksimalkan fungsinya, sudah hilang lagi, beli lagi, hilang lagi, dst.
Meski begitu, demi mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak, kami terus berupaya sebaik yang bisa dilakukan. Ketika dia sudah masuk SD, setiap Sabtu ada kegiatan ekstrakurikuler. Dari sekian banyak pilihan kegiatan tambahan di sekolahnya, dia memilih kelas menggambar dan mewarnai.
Itu pilihannya sendiri dan kami membebaskan anak itu memilih sesuai kesenangannya. Dari beberapa percobaan menggambar atau mewarnai yang ia lakukan, hasilnya biasa saja.
Bagi saya itu sangat wajar, sebab saya sebagai ayah juga tidak punya kemampuan yang baik pada bidang seni itu. Ibunya juga belum punya rekam jejak yang baik.
Gibran sering kali meminta saya untuk melatihnya menggambar. Tapi, saya hanya bisa menggambar boneka yang ada lagunya: enam, enam, tiga puluh enam, jadi boneka! Atau gambar dua gunung dengan matahari berpijar di tengahnya. Itu saja yang saya bisa. Hasilnya pun terlihat amburadul.
Karena itu, saya sering mengarahkan anak itu untuk menggambar sesuka hati saja. Sesekali saya buka tutorial di YouTube.
Meski ia sering berlatih, tapi karena tanpa bimbingan guru yang mahir, ia jadinya terlatih menggambar asal jadi saja. Tapi, begitu ia tunjukkan hasilnya ke saya, sudah pasti saya bilang bagus.
Aslinya ia belum bisa menggambar dengan baik, tapi kertas putih yang ia bawa itu berisi informasi lomba menggambar. Uang pendaftarannya terbilang lumayan, bisa memenuhi kebutuhan sayur seminggu untuk keluarga kecil kami. Karena itu saya perlu waktu untuk berpikir.
“Kita daftar e, Bapa…,” Gibran terus membujuk.
Saya akhirnya luluh. Saya juga berpikir, tidak ada salahnya memberi kesempatan anak itu untuk belajar berkompetisi sekaligus berlatih menggambar. Siapa tahu itu memberi dampak yang baik untuk perkembangannya kelak.
“Oke, esok kita daftar, tapi ada syaratnya,” kata saya dengan mimik serius.
“Apa syaratnya?”
“Mulai hari ini nonton hp hanya untuk belajar menggambar!”
“Oke!”
![]() |
| Suasana lomba mewarnai |
Keesokannya ia memang berlatih. Tapi hari kedua, ia lupa dan saya juga lupa memberi ingat. Hari ketiga dan seterusnya makin parah, ia tidak konsisten berlatih, hingga hari perlombaan itu tiba.
Minggu, 01 Desember 2024 kami berangkat ke tempat lomba yang diadakan di sebuah mall di Kota Kupang. Ibu dan Abran adiknya ikutan berangkat, mereka mau memberi dukungan dari dekat.
Begitu tiba di halaman mall, kami bertemu banyak sekali anak lain yang menenteng meja kecil untuk menggambar. Sejak itu saya mulai pesimis, tapi tetap memberi semangat positif buat Gibran.
Saat tiba di ruangan lomba, antrean sangat panjang. Sepertinya semua SD yang ada di Kota Kupang mengirim kandidat terbaik masing-masing.
Setelah melakukan pendaftaran ulang, saya dan Gibran mencari tempat kosong di arena lomba, sementara Ibu dan Abran adiknya menunggu di pinggir.
Kami telah duduk dengan nyaman, siap berlomba. Tapi, Gibran menoleh kiri-kanan dan saya perhatikan anak-anak lain menunggu lomba dimulai sambil menikmati berbagai jenis jajanan.
Saya terpaksa turun lagi ke lantai bawah mall tersebut, ke arena makanan dan minuman ringan, lalu beli beberapa untuk Gibran.
“Makan dulu, biar nanti fokus menggambar,” kata saya sambil menyerahkan jajanan itu.
Ia tersenyum, semangat di matanya menyala-nyala. Saya lega dan kembali optimis. Tapi, peserta semakin banyak saja, sampai-sampai kami duduk berdempetan.
Perlombaan akan dimulai beberapa menit lagi, Gibran tiba-tiba bilang, “Bapa, saya tidak mau juara satu.”
“Kenapa?”
“Saya takut naik pesawat ke Malaysia.”
“Kenapa takut?”
“Takut pesawatnya jatuh.”
“Jadi?”
“Saya juara dua saja. Uangnya nanti bagi untuk bapa dan mama.”
“Oke…,” jawab saya, lalu kami berpelukan.
![]() |
| Gibran berfoto bersama mama dan adiknya Abran sambil menunjukkan hasil kerjanya |
Lomba dimulai dan panitia telah memberi tahu kalau lomba itu harus ada kerja sama antara anak dan salah satu orang tua atau pendamping.
Awalnya saya beri kesempatan Gibran mewarnai sesuai keinginannya. Tapi, panitia memberi arahan agar setiap peserta bisa memberi ornamen tambahan pada gambar yang tersedia, bentuknya bebas sesuai kreativitas masing-masing.
Gibran meminta saya untuk menambahkan ornamen yang dimaksud. Saya berusaha melakukan yang terbaik, tapi hasilnya kurang meyakinkan.
Meski begitu, saya tetap meyakinkan Gibran kalau gambar hasil kolaborasi kami itu bagus. Kami pun berfoto dengan pose bangga bersama hasil karya itu.
Kami serahkan mahakarya itu kepada panitia. Penyelenggara memberi tahu, hasil perlombaan itu akan diumumkan dua jam kemudian.
Gibran memaksa kami untuk menunggu sampai pengumuman selesai. Tapi, saya memberi kode ke ibunya. Lalu kami bilang kalau di rumah sedang ada tamu penting, sehingga semua harus segera pulang.
Kami pun pulang dan impian ke Malaysia bertemu Upin-Ipin telah melayang.
#JalanPagi
Anak kecil logikanya kadang bikin kita tersenyum bangga sekaligus geli. Kalau kamu punya cerita lucu soal anak yang tiba-tiba takut hal konyol pas lagi semangat, cerita dong di komentar. Kita sama-sama orang tua yang lagi belajar kok.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar