Akhir November 2023 lalu, saya terkapar di rumah sakit dan pada hari kedua perawatan saya merasa seperti menghadapi sakratulmaut. Saya menahan nyeri yang tidak tertahankan, ditambah rasa sesak napas, dan perasaan pasrah pada Yang Maha Kuasa.
Saya berusaha tenang sesaat, lalu menutup mata dan bayangan hitam terlintas di kepala. Saya lantas berpikir, mungkin ini neraka. Beberapa lama kemudian, bayangan hitam pelan-pelan berubah cerah dan tampak memutih dan saya berpikir, mungkin ini surga.
Setelah itu saya berserah diri pada Tuhan. “Kalau memang ini waktunya saya kembali, ambil sudah, karena sakitnya sangat menyiksa. Tapi kalau Tuhan masih ingin saya berkarya di bumi, mohon angkat sakit ini.”
Ajaib. Beberapa saat kemudian, saya merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya. Rasa nyeri agak mereda. Tapi saya belum berani untuk bergerak terlalu banyak.
Saat itu saya hanya ditemani istri. Saya merasa sesak napas kalau bicara, tapi entah dapat dorongan dari mana, saya berkata pada istri:
“Kalau saya tidak ada nanti, tolong jangan nikah lagi. Jaga baik-baik saja Gibran dan Abran (dua anak laki-laki kami).”
Istri saya tidak menjawab sepatah kata, ia hanya mengusap matanya yang basah. Kemudian ia menunduk sambil memijit pelan kaki saya. Ia memberi tanda agar saya tidak terlalu banyak bicara, sebab saya akan semakin kelelahan dan sengsara.
Tapi saya ingin mengatakan satu hal lagi. Saya bilang, ada satu rekening yang selama ini saya sembunyikan. Saya beritahu di mana letak ATM beserta PIN-nya. Istri saya hanya menanggapi dengan memberi tanda agar saya tak banyak bicara lagi. Tapi saya sudah lega. Kalau misalnya hal buruk terjadi, saya sudah siap.
Dua hal yang saya sampaikan ke istri ketika sakit itu benar-benar pikiran spontan. Dalam kondisi sakit berat, saya tentu saja tidak sanggup berpikir yang rumit-rumit. Saya hanya berharap sehat dan ketika ada kesempatan bicara, saya sampaikan dua pesan di atas.
Kenapa saya meminta ia jangan menikah lagi kalau misalnya waktu itu saya tidak tertolong lagi? Entahlah. Saya hanya mengingat Gibran yang waktu itu baru kelas 1 SD dan adiknya Abran belum genap satu tahun. Saya pikir mereka berdua masih butuh perhatian maksimal. Saya tahu istri saya pasti mengerti, tapi saya tetap sampaikan permohonan yang mungkin terkesan bodoh itu.
Lalu pesan yang kedua, itu bisa saya jelaskan kenapa sampai ada ATM lain yang tidak diketahui istri.
Saya yakin ini pernah Anda alami juga. Ada kalanya kita terpaksa membuka rekening di salah satu bank bukan karena keinginan sendiri, tapi karena terpaksa untuk memenuhi syarat administrasi tertentu.
Misalnya, ketika saya melanjutkan kuliah, pihak kampus mewajibkan membuka rekening bank A karena kartu mahasiswa disatukan fungsinya dengan ATM. Urusan pembayaran uang registrasi juga harus melalui bank itu.
Belum lagi ketika mendapat dana bantuan dari pihak lain, kadang mereka mewajibkan harus punya rekening bank tertentu. Jadi ada masa di mana saya memiliki beberapa rekening bank, tapi isinya hampir tidak ada.
Pada saat yang bersamaan, aktivitas menulis yang saya tekuni mulai pelan-pelan menghasilkan cuan. Saya berpikir, ada baiknya semua uang yang saya peroleh dari kerja menulis itu disatukan pada tempat khusus, biar saya bisa mengevaluasi suatu saat, seberapa banyak penghasilan dari kegiatan menulis.
Penghasilan tambahan dari kegiatan menulis itu memang tidak pasti. Seperti cuaca. Kadang membanjir, ada waktunya juga gersang. Tapi, saya mensyukurinya dan rajin menabung sedikit demi sedikit.
Dan uang hasil menulis itu saya gunakan untuk investasi yang memungkinkan kreativitas menulis saya terus membaik. Saya sering membeli buku atau ikut kelas menulis menggunakan dana tersebut.
Kesalahannya cuma satu: istri tidak tahu. Tapi pendapatan dari kerja utama tentu saja saya serahkan semuanya sama dia. Lalu saya juga merasa tidak terlalu berdosa karena penggunaan uang hasil menulis tadi tidak untuk kegiatan negatif. Saya tidak pakai untuk membiayai selingkuhan, misalnya, atau bersenang-senang di tempat hiburan.
Uang hasil menulis memang tidak banyak, tapi ketika ditampung selama bertahun-tahun, jumlahnya lumayan juga. Makanya saya khawatir, kalau sampai istri saya tidak tahu dan kemudian saya tiba-tiba tidak bisa bertahan kala itu, bisa saja uang itu hilang begitu saja. Meski tak banyak, uang itu cukup untuk membiayai kopi, gula, dan air minum selama mete 3 hari kalau saat itu saya benar-benar telah tiada.
![]() |
| Maria Astuti Yani (Istri penulis Saverinus Suhardin) |
Setelah membuat 1 permintaan dan 1 pengakuan itu, saya jauh lebih tenang. Saya telah siap menghadapi kondisi terburuk sekalipun.
Saya sempat berpikir, mungkin tidak lama lagi riwayat saya selesai. Justru setelah itu, saya semakin tenang. Kondisi nyeri lebih berkurang dan napas jadi lebih enteng.
Meski begitu, dalam segala urusan lain, saya hampir tidak punya daya. Urusan ke kamar mandi dan semua kebutuhan dasar saya dibantu istri.
Selama kurang lebih 4 hari di RS, lalu ditambah perawatan di rumah selama 2 bulan pertama, semuanya diawasi langsung sama istri. Ia terpaksa mengambil semua jatah cuti tahunannya di tempat kerja, lalu kadang minta izin tambahan lagi demi mendampingi saya selama masa sekarat itu.
Saat itu di rumah kami jadi ada 2 bayi. Selain Abran, saya juga butuh perawatan seperti bayi. Saya laki-laki bertubuh tinggi-besar, berkumis, berjenggot, bulu hidung kadang melewati batas—tapi kemampuan umum seperti bayi.
Saya pernah mendengar sebuah nasihat, entah dari siapa dan di mana saya mendengarnya sudah lupa, bahwa ketika kita sehat terkadang tidak menghiraukan istri dan lebih memilih aktivitas di luar sana. Tapi ketika sakit dan tak berdaya, istri menjadi orang pertama yang selalu berada di samping kita.
Dan saya telah mengalaminya sendiri. Saat kita sakit, apalagi kondisinya parah, kita jadi mengerti pentingnya menjaga kesehatan. Ada rasa penyesalan, tapi mau bagaimana lagi.
Saya hanya bisa bersyukur, istri dan keluarga banyak memberi dukungan. Waktu itu, mulai dari urusan makan, minum, mandi, buang air kecil dan besar, dan segala urusan lain dibantu total sama istri.
Saya mulai bisa mandiri setelah memasuki bulan kedua, tapi kondisi sakit yang saya alami saat itu mewajibkan saya untuk rutin kontrol di rumah sakit. Proses perawatannya cukup panjang, hampir satu tahun. Itulah kenapa selama 2024 saya hampir tidak main medsos, sebab ingin fokus pada pemulihan kesehatan.
Saya pulih berkat pengobatan dan perawatan dari banyak pihak. Selain itu, saya juga semakin pulih berkat konsisten menerapkan pola hidup sehat ala #JalanPagi.
Prosesnya memang pelan, tapi semakin lama saya merasa semakin baik. Menjelang akhir 2024 kemarin, saya tidak ada kewajiban lagi untuk kontrol di RS. Pengobatan sudah selesai, kondisi kesehatan jauh lebih baik dan semakin baik.
Maka ketika memasuki 2025 kemarin, saya minta izin sama istri untuk bersenang-senang di media sosial lagi. Ia izinkan, maka saya mulai mengaktifkan kembali gerakan #JalanPagi yang saya rintis sejak 2016.
Urusan #JalanPagi ini benar-benar membantu pemulihan kesehatan saya selama ini. Aktivitas ini tidak sekadar konten media sosial, tapi kegiatan nyata yang memberi banyak dampak positif.
Itu makanya saya ubah slogannya. Dulu, slogan #JalanPagi itu “Mencari Inspirasi”. Setelah sakit panjang dan merasa #JalanPagi memberi kontribusi besar pada tahap pemulihan, slogannya menjadi: Semakin sehat, kuat, bersemangat, dan bermanfaat.
Slogan baru sekiranya menjadi afirmasi positif bagi diri sendiri. Saya juga mulai menerapkan sebuah nasihat bagus, entah dari siapa, intinya mengatakan: apa yang kita lakukan kalau jatah hidup hanya tinggal sehari itu saja?
Nasihat itu membuat saya semakin bersyukur dengan segala berkat dan rahmat Tuhan. Dan sebagai bentuk syukur, saya berusaha melakukan hal terbaik untuk hari itu yang sekiranya bermanfaat bagi diri sendiri, sesama, dan lingkungan.
Setelah pengalaman sakratulmaut, saya mesti selalu siap kapan saja hal itu terjadi lagi. Saya semakin bersyukur, sebab pengalaman sakit itu membuat saya lebih kuat.
Saya bersyukur telah melewati masa sulit ketika sakit. Saya berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung proses pemulihan saya hingga saat ini.
Terkhusus lagi buat istri saya, Maria Astuti Yani. Saya tahu, ia melakukan semuanya tanpa pamrih. Tapi karena hari ini ia ulang tahun dan saya tidak tahu harus memberi hadiah apa, maka saya tulis saja kisah ini sebagai bentuk penghormatan saya kepadanya. Semoga berkenan.
Selamat ulang tahun istriku, Anyk Astuty. Panjang umur, sehat, dan hidup bersama selalu. Amin.
Minta maaf karena setelah rekening yang menampung uang hasil tulisan itu sudah kamu tahu, malah pekerjaan menulis yang menghasilkan uang malah semakin sepi. Mungkin perlu ada akun rahasia lagi e... hehehe.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar