Bernyanyi untuk Pesta Surgawi: Kisah Perjuangan Tenor KUB St. Yohanes Paulus II - SAVERINUS SUHARDIN

Latest

Literasi Keperawatan

Rabu, 03 Desember 2025

Bernyanyi untuk Pesta Surgawi: Kisah Perjuangan Tenor KUB St. Yohanes Paulus II

Umat KUB St. Yohanes Paulus II, Paroki St. Yosef Pekerja, Penfui, saat menjadi penanggung koor pada Minggu, 05 Januari 2025.
Umat KUB St. Yohanes Paulus II, Paroki St. Yosef Pekerja, Penfui, saat menjadi penanggung koor pada Minggu, 05 Januari 2025.

Setelah bergabung sejak 2016 di Kelompok Umat Basis (KUB) St. Yohanes Paulus II, Paroki St. Yosef Pekerja, Penfui, saya akhirnya bisa terlibat dalam kegiatan koor untuk pertama kalinya pada Minggu, 05 Januari 2025 lalu.

Sebelum itu, saya memang pernah beberapa kali coba bergabung saat latihan, tapi pada akhirnya merasa minder dan merasa lebih mudah bikin alasan untuk menghindar daripada menyanyi.

Saya masih ingat ketika pertama kali coba ikut latihan dulu, jumlah penyanyi laki-laki untuk suara tenor dan bas sangat sedikit. Lalu, seorang bapak yang dianggap bisa menyanyi di antara kami bertanya ke saya, "Masuk tenor atau bas?"

Itu pertanyaan dan pilihan sulit, tapi saya hanya bisa menjawab mana-mana saja. Pengalaman saya sejak kecil, masa remaja, hingga beranjak dewasa, pilihan saya sebenarnya tergantung teman dekat mana bisa memengaruhi saya ketika menyanyi.

Saya bisa dibilang buta not angka, apalagi not balok atau mungkin ada lagi bentuk lainnya. Ketika menyanyikan do, re, mi, fa, sol, la, si, do..., kata orang yang mendengarnya, suara saya terdengar sama untuk semua not. Sebutan mungkin beda, tapi nadanya semua seperti do rendah.

Maka ketika terpaksa ikut latihan koor, saya senang ketika rekan-rekan satu tim memberi usul agar tidak perlu latihan not terlalu lama. "Langsung kata-kata saja," itu salah satu usulan yang bikin hati saya tenang.

Saya lebih mudah meniru cara menyanyi orang secara langsung. Seperti ketika saya mendengar lagu pop, biasanya dimulai dengan mendengarkan penyanyinya. Lalu perlahan meniru, hingga akhirnya sudah mulai agak bisa.

Saya senang kalau rekan setim ada yang memang pandai bernyanyi dan ia percaya diri mengeluarkan suara terbaiknya. Maka saya tinggal memasang telinga, lalu coba meniru dan bernyanyi seperti dia.

Sepanjang bernyanyi, saya fokuskan pendengaran hanya pada dia. Sebab kalau ada peserta dari kelompok suara lain yang lebih dominan, saya bisa-bisa terpengaruh ikut cara mereka bernyanyi.

Kalau boleh memilih, saya sebenarnya tidak mau terlibat menyanyi dalam kelompok koor. Saya berpikir, tiap orang telah diberikan talenta berbeda oleh Sang Pencipta, dan saya merasa memang lemah dalam urusan ini.

Maka kalau boleh memilih, mungkin saya bisa memilih peran yang lain dalam hidup ber-KUB. Biarlah orang yang memang bisa menyanyi atau punya hobi olah suara saja yang ikut koor.

Beberapa kali saya memberi alasan seperti itu kepada pengurus KUB, tapi mereka punya banyak dalil lain yang membuat kita sulit menghindar lagi.

Mulai dari kutipan nasihat dari Alkitab yang kurang lebih mengatakan bahwa menyanyi dengan baik untuk memuji Tuhan itu sama dengan berdoa dua kali. Lalu ada juga yang mengatakan kalau semua orang juga tidak bisa menyanyi, tapi begitu gabung dalam kelompok koor, lama-lama bisa juga.

Atau karena jumlah peserta koor masih kurang, maka mau tidak mau semua harus terlibat. Entah di KUB Anda sekalian, di tempat kami keterlibatan penyanyi laki-laki (entah bapak-bapak atau anak muda) sangat kurang. Kalau ibu-ibu dan remaja putri sepertinya tidak ada masalah.

Dan malam itu, ketika ditanya tenor atau bas, saya spontan menjawab, "Saya ikut Bapa saja." Ia penyanyi tenor dan tampak sangat menguasai not. Ia menyanyi sangat percaya diri dan ketika ia mendengar saya ikut-ikutan bernyanyi dengan cara yang salah, wajahnya kecewa.

Saya mulai merasa kurang nyaman. Meski ia tidak mengungkapkan secara langsung, bagi saya tatapan matanya seolah mengatakan: aduh, ini orang sudah tua tapi tidak tahu baca not. Saya memang jadi kumbang yang hanya bisa mendengung saat itu, dan hari selanjutnya saya tidak pernah datang.

Saya pernah coba lagi pada kesempatan latihan koor periode berikutnya. Saya perhatikan situasinya masih sama. Peserta laki-laki sangat sedikit dan saya belum bisa menemukan satu orang yang bisa saya tiru. Saya merasa belum nyaman ikut bernyanyi dan tidak pernah terlibat lagi.


Saat menjelang Natal 2024 kemarin, Ketua KUB kami tiba-tiba datang ke rumah. Ia sebenarnya telah menuliskan banyak pengumuman di grup WA, kadang kirim pesan pribadi, semuanya berisi ajakan untuk ikut bernyanyi.

Terkadang, mungkin karena jengkel dengan partisipasi umat yang kurang, ia memberi sedikit ancaman. Kalau dari setiap keluarga tidak ada perwakilan yang terlibat koor, maka urusan administrasi Gereja tidak akan dilayani.

Saya tahu itu hanya ungkapan kekecewaan saja, sebab selama ini ia bersama pengurus KUB lainnya begitu baik melayani kami. Urusan doa Rosario, katekese, dan urusan kedukaan ketika ada umat yang meninggal dunia—semuanya terlayani dengan baik.

Kalau masih ada umat yang enggan terlibat, khususnya seperti saya, itu terjadi karena ada hal yang tidak beres secara pribadi saja. Maka ketika Ketua KUB itu datang ke rumah, saya menyambutnya agak malu-malu.

"Kae, tolong ikut koor ko," tanpa basa-basi ia langsung omong pada bagian inti. "Kita punya anggota masih kurang banyak."

"Iya, Kae, hanya saya suara parah ini, tidak bisa baca not," saya masih coba bikin alasan.

"Kita semua sama, Kae. Ikut-ikut saja, pasti bisa."

Ia kemudian menyampaikan partisipasi penyanyi laki-laki sangat kurang. Maka sebagai solusi, ia bersama pengurus KUB lain telah meminta beberapa mahasiswa yang memang kuliah di Jurusan Sendratasik (seni, drama, tari, dan musik) Unika Kupang.

Mahasiswa itu sudah pasti ahli bernyanyi, tapi mereka semua tinggal di kos-kosan di area Penfui. Jarak dari sana ke RSS Baumata cukup jauh, sehingga perlu ada dukungan biaya transportasi untuk mereka.

Karena itu, pengurus KUB membuat kebijakan, bagi keluarga yang tidak bisa terlibat sama sekali dalam kegiatan koor, mungkin bisa berkontribusi dengan menyumbangkan dana.


Saya akhirnya mulai ikut latihan ketika liburan Natal kemarin. Kehadiran mahasiswa sendratasik itu memang sangat membantu. Saya tinggal menyandengkan telinga dekat mereka, lalu berusaha meniru sebaik yang bisa saya lakukan.

Saya makin bersemangat ketika tahu pelatih kami saat itu ternyata pencipta lagu juga. Saya lihat namanya tertulis sebagai pencipta pada teks lagu komuni, namanya Alexander Langkeru.

Sejak awal saya melihatnya, Pak Alex memang tampak seperti maestro. Ia begitu tenang. Ketika ia bicara, semua anggota koor begitu perhatian pada kalimat yang ia ucapkan.

Sebelum latihan dimulai, ia biasanya langsung memimpin doa, kemudian memberi beberapa pemikirannya terkait bernyanyi. Ia bilang, latihan koor itu akan ditampilkan pada perayaan Pesta Tiga Raja.

Menurutnya, itu adalah sesi penutup dari masa Natal bagi umat Katolik. Karena itu, ia sangat berharap semua anggota bisa bernyanyi dengan sungguh-sungguh.

"Kita masing-masing berupaya sebaik mungkin, sehingga perayaan itu nanti nuansanya seperti pesta surgawi," pesan Pak Alex.

Saya merasa terkesan dengan "pesta surgawi" itu sehingga makin bersemangat berlatih. Saya hampir tidak pernah alpa lagi selama 6 kali latihan dan hasilnya lumayan menggembirakan.

Setelah tanggungan koor itu telah tuntas ditunaikan, kami sempat berkumpul di belakang Gereja St. Yosef Pekerja, Penfui. Kami melakukan evaluasi sambil menikmati makanan dan minuman ringan bersama.

Pak Alex selaku pelatih sekaligus dirigen waktu itu memberi apresiasi kepada semua peserta. Menurutnya, kami telah bernyanyi dengan baik. Apa yang pernah ia harapkan agar bisa menghadirkan nuansa "pesta surgawi" dalam perayaan ekaristi akhirnya terwujud.

Pak Alex juga memberi apresiasi khusus kepada pengurus KUB, karena telah berupaya maksimal memfasilitasi semua kebutuhan selama proses latihan hingga tampil pada hari perayaan.

Ia juga mengakui beratnya upaya yang dilakukan ketua dan pengurus KUB untuk mengumpulkan peserta koor. Karena itu ia berharap, semoga kesadaran orang untuk berpartisipasi dalam koor terus meningkat.

Sepulang dari sana, saya masih terbawa suasana. Sesekali saya menyanyikan ulang beberapa potongan syair lagu-lagu koor itu ketika petik sayur di belakang rumah, ketika mandi, atau ketika melakukan apa saja.

Tapi ketika sedang asyik bernyanyi, kadang istri dan anak saya berkomentar, "Bapa lagi bernyanyi atau bicara?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar