Merdeka Belajar: Konflik antara Filsafat Memanusiakan Manusia dan Tuntutan Pasar Kerja - SAVERINUS SUHARDIN

Latest

Literasi Keperawatan

Rabu, 03 Desember 2025

Merdeka Belajar: Konflik antara Filsafat Memanusiakan Manusia dan Tuntutan Pasar Kerja

Ilustrasi konsep ideal merdeka belajar dan kenyataan di lapangan

Saya tiba di lokasi diskusi ketika seorang filsuf sedang memaparkan bagaimana ketimpangan kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya lagi di NTT. Ia menerangkan kalau masalah pendidikan tersebut erat kaitannya dengan persoalan kesenjangan ekonomi.

Ketika kemampuan ekonomi masyarakat tidak sama, kebijakan pemerintah malah memprioritaskan sekolah unggul yang hanya bisa diakses oleh kelompok tertentu yang mampu. Menurutnya, pemerintah mestinya bertugas untuk memastikan seluruh lembaga pendidikan memiliki kualitas yang sama baiknya.

Ia menekankan pentingnya kesetaraan dalam kesempatan belajar. Dan hanya melalui cara itu kita bisa mengurai masalah ketimpangan pada hampir seluruh aspek kehidupan di Indonesia.

Saya telah duduk di tempat yang nyaman dan langsung betah mendengarkan forum itu. Kegiatan itu berlangsung pada 18 Agustus 2023 lalu di salah satu kafe di Kota Kupang.

Ada sebuah lembaga pemerintah yang berinisiatif menyelenggarakan diskusi seputar “Merdeka Belajar” dan mereka berkolaborasi dengan beberapa lembaga lain.

Forum itu dihadiri oleh filsuf atau pakar pendidikan, guru/dosen, jurnalis/pengelola media massa, perwakilan lembaga masyarakat, dan pemerhati masalah pendidikan lainnya. Saya nimbrung di antara mereka, duduk sambil mendengarkan dan mengunyah camilan yang tersedia di meja.

Filsuf itu terus menyampaikan pemikirannya. Ia mengkritik kebijakan pendidikan kita yang sibuk menyiapkan lulusan sebagai pekerja.

Menurutnya, pendidikan yang baik itu harus berfokus pada upaya memanusiakan manusia. Bukan sekadar mencetak lulusan sebagai pekerja ekonomi yang mau saja disuruh ini-itu tanpa berani berpikir kritis dan melakukan perubahan sosial dan politik.

Pakar pendidikan itu lebih dominan mengutip dua nama filsuf pendidikan, yaitu Paulo Freire dan Antonio Gramsci. Maka tidak heran bila ia menekankan tentang tujuan pendidikan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan memberi dampak bagi perubahan sosial dan politik yang makin beradab.

Ia berharap, antara guru–murid atau dosen–mahasiswa saling membangun dialog dalam proses belajar. Guru/dosen cukup berperan sebagai fasilitator yang bisa merangsang murid/mahasiswa berpikir kritis untuk menyelesaikan berbagai persoalan riil yang terjadi di sekitarnya.

Guru/dosen tidak lagi sekadar mentransfer ilmu kepada anak didiknya. Murid/mahasiswa juga tidak hanya belajar untuk bisa lulus atau mendapatkan nilai bagus ketika ujian. Mereka harusnya dilatih untuk bisa berpikir secara mandiri untuk menyelesaikan masalah.

Narasumber itu menekankan, cara belajar seperti itulah esensi dari Merdeka Belajar. Murid/mahasiswa diberikan ruang yang bebas untuk berpikir dan mengemukakan pendapat. Dan semua upaya itu bertujuan untuk menguraikan masalah dan meningkatkan kualitas hidup manusia.

“Visi pendidikan kita harusnya tidak hanya menghasilkan sarjana, tapi menciptakan orang yang berpikir merdeka,” tegasnya.

Saya senang mendengarkan kuliah singkat itu dan tanpa sadar kentang goreng yang ada di hadapan saya hampir habis. Saya keasyikan mengunyah sambil mendengar ceramah dan baru menyadarinya ketika sesi diskusi dimulai.

Hampir semua peserta forum malam itu aktif bicara. Setelah saya menyimak apa yang mereka diskusikan, saya memutuskan untuk terus jadi pendengar saja.

Saya sangat setuju dengan ide atau pemikiran yang disampaikan filsuf itu. Memang seperti itulah model ideal dalam dunia pendidikan.

Tapi, ada satu bagian yang cukup mengganggu pikiran saya, yaitu anjuran mengikuti pendidikan tanpa berorientasi pada kebutuhan pasar kerja. Bukankah rata-rata orang bersekolah dan mengikuti kuliah mahal-mahal dengan harapan kelak bisa bekerja atau jadi karyawan?

Di lembaga pendidikan tempat saya bekerja pun masih memikirkan bagaimana para lulusan bisa langsung bekerja. Apalagi kami menyelenggarakan pendidikan vokasi, ada ekspektasi agar kemampuan lulusan kami harus kompatibel dengan kebutuhan dunia kerja.

Dan salah satu instrumen penilaian akreditasi prodi/kampus adalah seberapa cepat para lulusan diterima bekerja pada bidang yang relevan saat kuliah. Tapi, kenapa narasumber kami malah tidak merekomendasikan seperti itu?


Saya memang tidak sempat menanyakan atau mendiskusikan kerisauan saya itu. Memang agak sedikit bimbang. Saya setuju dengan konsep pendidikan yang disampaikan Freire maupun Gramsci. Tapi kalau lulusan perguruan tinggi tidak berfokus pada pasar kerja juga, rasanya sia-sia. Ah, gamang betul.

Meski agak sedikit galau, saya tetap gembira berada dalam forum diskusi tersebut. Setelah pembicara kunci menyampaikan pemikirannya, selanjutnya peserta diskusi lain menyampaikan pertanyaan atau memberikan pernyataan.

Ada banyak masalah pendidikan yang ikut disinggung kala itu. Ada kritikan terhadap kurikulum yang terus berganti tiap kali ganti menteri.

Selain itu, tantangan selama COVID-19 membuat siswa mengalami kemunduran proses belajar. Akibatnya, ada murid yang masih susah membaca. Ada pula yang terkungkung dalam kondisi aliterasi: orang yang mungkin bisa mengeja kata atau membaca teks, tapi kurang atau tidak memahami konteks.

Karena adanya beragam persoalan itu, konsep Merdeka Belajar diharapkan bisa menjadi solusi. Proses belajar atau cara belajar tiap anak dibuat secara fleksibel agar sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki anak tersebut.

Penerapan “Merdeka Belajar” diawali dengan asesmen kemampuan peserta didik. Apa potensi yang ia miliki; apa kelebihan dan kekurangannya? Berdasarkan hasil penilaian awal itu, barulah pendidik menentukan metode belajar yang cocok dengan karakter anak tersebut.

Harapannya, anak itu bisa belajar dengan nyaman dan penuh suasana riang gembira. Bila ia belajar dalam suasana tanpa tekanan dan ia menyukai apa yang ia pelajari, itulah “Merdeka Belajar.”

Saya mendengarkan banyak pengalaman dari peserta diskusi yang didominasi oleh guru dan dosen itu. Mereka pada umumnya membagikan pengalaman mereka dalam menerapkan prinsip Merdeka Belajar di lingkungan kerja masing-masing.

Mereka akui tidak mudah dan butuh waktu yang banyak, sebab tiap anak mendapatkan pendekatan yang berbeda-beda. Meski begitu, mereka meyakini metode itu bisa membuat peserta didik jadi betah belajar dan menunjang perkembangan anak.


Saya pulang dari diskusi itu dalam keadaan kenyang. Selain kenyang dengan ide di kepala, perut juga telah diisi berbagai penganan dan kopi enak.

Dalam perjalanan pulang, saya berkomitmen menerapkan prinsip Merdeka Belajar untuk anak-anak di rumah. Begitu tiba di rumah, istri saya sedang mendampingi Gibran (anak pertama kami yang sudah kelas 2 SD) belajar berhitung dan menulis.

Saya perhatikan, nada suara istri saya terus meninggi seiring berjalannya waktu. Lalu kemudian marah-marah dan mengancam akan menyuruh anak itu berlutut kalau tidak bisa menyelesaikan soal yang baru dijelaskan contoh penyelesaiannya.

“Sekarang ini era Merdeka Belajar, tidak boleh marah-marah kalau mengajar,” saya coba menyela.

“Kau sudah yang ajar ini anak,” jawab istri saya kesal.

“Pelan-pelan kah…,” kata saya lagi, kali ini dengan nada suara yang rendah.

“Aduh, mau jadi apa anak ini kalau tidak dipaksa? Tulisannya tidak pernah rapi. Apa yang baru diajar bisa tidak ingat neh…”

“Mungkin karena kau marah-marah…”

“Bagaimana tidak marah kalau ia tidak berubah?”

Saya kemudian memilih diam sebelum saya juga kena marah lebih besar. Memang tidak mudah menerapkan cara mendidik anak.

Kalau kita terlalu lembut, takutnya mereka malah malas belajar atau tidak mau berupaya. Padahal kita tahu, terkadang apa yang kita tidak suka awalnya, kalau dipaksa dan terus dilakukan, maka lama-lama jadi mudah.

Pada sisi yang lain, ketika sedang berupaya agar mereka harus bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu, kadang takut kalau caranya malah membuat mereka takut atau batinnya terluka.

Mau didik dengan cara yang lembut salah, mau cara yang kasar juga salah. Apa yang pas? Mungkin di tengah-tengah saja. Tapi, memang menentukan ukuran yang pas itu tidak pernah tuntas. Mungkin itu alasannya orang menganjurkan kita untuk terus belajar, sepanjang hayat.

Salam #JalanPagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar