Juara Inovasi AIPViKI dan Refleksi Bromo: Kisah Persahabatan dengan Bapa Made - SAVERINUS SUHARDIN

Latest

Literasi Keperawatan

Rabu, 03 Desember 2025

Juara Inovasi AIPViKI dan Refleksi Bromo: Kisah Persahabatan dengan Bapa Made

Pengumuman hasil Lomba Nasional AIPVIKI tahun 2023
Prodi D3 Keperawatan STIKES Maranatha Kupang mendapatkan penghargaan Juara I Inovasi Bidang Akademik dalam Lomba Nasional AIPViKI 2023

Saya sebenarnya enggan bergerak memberikan pertolongan pada tengah malam itu, sebab selain telah letih mengikuti kegiatan berdurasi panjang, rekan sekamar saya ini sempat berupaya agar ia berpasangan dengan temannya yang lain.

Tapi, saat itu ia sedang menggigil dalam selimut dan bertanya bagaimana mengatur suhu ruangan agar tidak terlalu dingin?

Ketika saya tiba di kamar hotel beberapa jam sebelumnya, ia telah lebih dulu mendekam dalam selimut. Ia tersadar sedikit ketika saya masuk kamar, lalu kemudian tertidur kembali.

Pada sore hari sebelum kejadian itu, kami mendapatkan informasi dari panitia kegiatan tentang pembagian kamar peserta.

Itu kegiatan Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Vokasi Keperawatan Indonesia (AIPViKI) yang mengundang peserta dari seluruh wilayah Indonesia. Kami berkumpul di salah satu hotel di Kota Surabaya pada 09–11 November 2023 lalu.

Ketika melihat daftar pembagian kamar peserta itu, dari namanya saja saya bisa menduga ia dari Bali. Saya berpikir, mungkin ia berasal dari salah satu kampus vokasi keperawatan di Bali.

Saya tidak segera mencarinya, sebab jadwal acara masih panjang dan tidak mudah mengidentifikasi orang di tengah kerumunan. Tapi tidak berselang lama, ada sebuah telepon masuk, ternyata rekan sekamar itu.

Ia meminta agar dia bisa pindah ke kamar lain atau saya yang pindah, supaya ia bisa sekamar dengan temannya. Saya tidak ada masalah soal itu, sebab sebagai peserta, saya ikuti arahan panitia saja.

Saya mendaftar pada kegiatan Kongres Nasional II AIPViKI itu memang menjelang waktu pendaftaran ditutup. Mungkin rekan sekamar saya itu juga sama, sehingga kami tidak lagi mendapatkan kamar pada hotel yang menjadi tempat kegiatan.

Saat itu ada perhelatan sepak bola di Surabaya, sehingga kamar hotel dipadati tamu. Karena itu, panitia memfasilitasi kami ke hotel lain yang lumayan jauh dari lokasi kegiatan. Kami mesti menumpang bus dan menempuh jarak kurang lebih 20–30 menit.

Kegiatan kongres seperti itu memang sangat padat. Acara hari pertama baru selesai menjelang pukul 23.00, lalu kami harus berpindah ke hotel lain lagi untuk tidur.

Rekan sekamar tadi akhirnya tidak berhasil pindah kamar, dan beberapa jam sebelum acara selesai ia mengirim pesan ke saya untuk istirahat duluan. Katanya ia sudah lelah dan agak kurang enak badan.

Dan kini ia tengah mengerang dan menggigil dalam selimut dan kami sama-sama bingung bagaimana mengatur suhu AC.

Ketika masuk kamar, saya memang sempat melihat ada satu layar kecil di tembok yang menampilkan suhu ruangan. Itu pasti tombol pengatur suhu, tapi saya ragu.

Tapi, saya juga tidak tega melihat rekan sekamar yang tidak nyaman dengan kondisi itu. Akhirnya saya berusaha bangun ke arah pintu, lalu mencabut kartu yang berfungsi sebagai kunci pintu sekaligus saklar utama kelistrikan di kamar itu.

Tidak lama kemudian, kamar itu gelap. Semua perangkat yang tersambung dengan listrik langsung mati. Termasuk AC yang menghembuskan hawa dingin itu. Kami pun tidur tanpa listrik hingga pagi.

Begitu terbangun menjelang pukul 6, saya berinisiatif menghidupkan kembali listrik di kamar, lalu memanaskan air dengan teko listrik yang ada di meja kecil di samping tempat tidur.

Sementara saya menyiapkan air panas itu, ia juga ikut terbangun. Saya tanyakan kondisinya, ia mengaku sudah agak baik.

“Kopi atau teh?”

Ia bilang teh saja. Saya pun sat-set membuat kopi pahit untuk diri sendiri dan kopi manis untuknya. Lalu, kami berbagi cerita.


Penulis (Saverinus Suhardin) foto bersama Bapa Made di Gunung Bromo
Penulis (Saverinus Suhardin) foto bersama Bapa Made di Gunung Bromo

Namanya I Made Raka. Ia memang asli orang Bali, tapi ketika tamat SMA merantau ke Papua mengikuti pamannya. Di sana ia diberi kesempatan untuk kuliah di jurusan keperawatan.

Ia mengaku dulu tidak punya cita-cita besar. Tidak punya ambisi ingin ini-itu. Ia sekolah biasa saja, mengalir apa adanya, dan semuanya berjalan lancar.

Ia juga mengenyam pendidikan secara bertahap. Mulai dari jenjang D3 dulu, lalu D4, dan terakhir telah menyelesaikan pendidikan Magister Kesehatan Masyarakat di Undip.

Kariernya pun merangkak dari dasar. Ia pernah menjadi perawat pelaksana di beberapa fasilitas kesehatan, lalu akhirnya jadi dosen. Dan saat itu ia menghadiri kegiatan itu sebagai Ketua Prodi D3 Keperawatan Sorong, Papua.

Saya juga tentu saja menceritakan sedikit kisah perjalanan hidup. Agak mirip dengan kisah perjalanannya, hanya kehadiran saya saat itu sekadar menggantikan posisi pimpinan saya yang kebetulan berhalangan.

Saya merasa beruntung bisa mendapatkan kesempatan itu, sebab saya bisa bertemu dan berkenalan dengan pimpinan institusi pendidikan vokasi keperawatan dari berbagai daerah. Termasuk bisa berkenalan dengan Pak Made.

Sejak pagi itu, saya memanggil rekan sekamar itu dengan sapaan Bapa Made. Ia memang lebih senior dari saya, anak pertamanya sudah lulus kuliah dan sudah bekerja pula. Relasi kami selanjutnya sudah seperti hubungan bapa-anak.

Kami sama-sama pergi sarapan. Selama kegiatan hari kedua kami duduk semeja, termasuk dengan rekan-rekannya yang lain dari Papua. Ia juga meyakinkan saya agar ikut membeli paket wisata ke Bromo.

Iya, selain menyelenggarakan kegiatan inti, panitia juga menawarkan 2 paket wisata. Pertama, paket wisata keliling Kota Surabaya, lalu makan Bebek Sinjay di Madura. Kedua, paket tur wisata ke Gunung Bromo.

Saya pernah tinggal di Surabaya kurang lebih 3 tahun dan sudah berkali-kali makan Bebek Sinjay di Madura. Maka sudah tentu saya memilih paket yang kedua. Sama dengan pilihan Bapa Made.

Penulis (Saverinus Suhardin) berfoto menggunakan topi khas Papua milik Bapa Made
Penulis (Saverinus Suhardin) berfoto menggunakan topi khas Papua milik Bapa Made

Kegiatan hari kedua juga berlangsung hingga malam. Sebelum acara penutupan, panitia mengumumkan hasil perlombaan tingkat nasional yang melibatkan dosen dan mahasiswa pendidikan vokasi keperawatan se-Indonesia.

Kami dari Prodi D3 Keperawatan STIKes Maranatha Kupang saat itu terlibat dalam beberapa cabang kompetisi. Ketika hasilnya diumumkan, saya tidak berekspektasi terlalu besar begitu melihat banyaknya para pesaing.

Tapi, Tuhan berkehendak lain, dari sekian banyak lomba yang kami ikuti, ada satu cabang yang mendapat peringkat pertama. Saat itu kami meraih Juara I Lomba Inovasi Program Studi Vokasi Keperawatan Tingkat Nasional dalam Bidang Akademik dan Pembelajaran Kategori PTS Tahun 2023.

Saya semakin percaya diri berada di antara orang-orang hebat itu ketika menerima sertifikatnya. Bapa Made pun sepertinya kurang percaya, ia sampai beberapa kali melihat ke plakat yang saya bawa sampai di kamar hotel.

Kami tidak bisa berlama-lama di hotel, sebab tepat pukul 24.00, kami mesti bergerak ke arah Bromo. Kami menumpang bus yang sudah disiapkan panitia dan kami tidur malam kedua itu di kursi bus. Saya duduk bersebelahan dengan Bapa Made.

Saya berupaya tidur sepanjang perjalanan, tapi tidak nyaman. Mau melek terus juga rasanya terlalu capai. Jadinya istirahat sebisanya saja.

Kami tiba di area tempat pergantian mobil menjelang pukul 4 dini hari. Bus hanya bisa sampai di situ. Selanjutnya perjalanan #JalanPagi itu dilanjutkan dengan mobil jip yang bisa menampung 5 orang.

Jalanan setelah itu memang tanjakan tajam, hanya mobil jip yang bisa menaklukkan medan berat seperti itu. Ketika berpindah ke mobil jip, saya terpisah dengan Bapa Made, sebab saat itu begitu gelap dan kami diminta buru-buru naik ke kendaraan yang ada bangku kosong.

Tapi begitu sampai perhentian pertama yang katanya menjadi pusat pemantau matahari terbit terbaik, saya kembali bergabung dengan Bapa Made. Saat itu, mungkin sekitar jam 5 lewat, matahari belum ada tanda akan bangkit.

Di puncak gunung itu sudah pasti dingin sekali. Bapa Made kemudian mengajak saya masuk ke sebuah kedai. Pemiliknya dari Banyuwangi dan Bapa Made terlihat fasih dan akrab berkomunikasi menggunakan bahasa daerah.

Tidak lama berselang, dua cangkir kopi panas datang. Bapa Made juga sigap membeli roti dan biskuit. Saya sudah bilang tidak usah repot-repot, tapi ia tetap membelinya. Karena telah tersedia, rasanya kurang sopan kalau tak dimakan.

Kami telah menghabiskan kopi dan penganan tadi, orang-orang di luar sana terdengar riuh. Rupanya matahari sudah hampir muncul dan hampir semua pengunjung ingin mengabadikan momen itu dalam kamera.

Kami juga tidak mau kalah. Justru itulah tujuan utama kami ikut tur wisata ke Bromo ini, ya, biar bisa foto dengan pemandangan alam yang estetis.

Saya dan Bapa Made foto bergantian. Kami juga foto bersama rekan-rekan lain dari Papua yang memakai aksesori unik di kepala. Saya tidak tahu apa namanya, tapi saya minta melalui Bapa Made agar bisa pinjam sejenak untuk difoto.

Tentu saja Bapa Made tidak keberatan, ia meminjam ke rekannya yang sama-sama dari Papua, lalu saya bergaya dengan aksesori kepala itu. Macam kepala suku saja.

Kami berpindah di beberapa titik. Semuanya terlihat baik. Setelah bertanya sana-sini, area Bromo dan sekitarnya bisa unik seperti itu akibat adanya letusan gunung berapi. Pada awalnya, letusan itu tentunya membahayakan orang dan lingkungan di sekitarnya. Pasti ada korban jiwa, selain kehilangan harta benda.

Tapi setelah itu, setelah semuanya kembali tenang, bentuk alam akibat bencana itu justru terlihat unik. Karena unik, orang rela datang untuk melihatnya. Karena banyak orang datang, peluang ekonomi pun datang. Warga di sekitar maupun pemerintah setempat bisa mendapatkan keuntungannya. Pada akhirnya, semua jadi baik buat semua orang.

Kami pulang dari Bromo menjelang pukul 12 siang dan selama dalam bus sebagian besar tertidur. Begitu tiba di hotel, saya berpisah dengan Bapa Made.

Esoknya, ketika saya sudah di Kupang, ia telepon sekadar mengabarkan kalau ia juga tiba di rumah dan berkumpul bersama keluarga. Saya senang mendengarnya. Beberapa hari kemudian, ia juga mengirim beberapa dokumen yang saya butuhkan untuk bahan belajar.

Kami awalnya sama-sama kurang sreg berada dalam satu kamar. Kalau mau memilih, saya mungkin lebih senang sekamar dengan orang yang kenal lama sebelumnya. Tapi, rupanya berkenalan dengan orang baru justru bikin pengalaman makin seru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar