Suatu hari pada September 2024, ada sebuah pesan WA masuk dari seorang anak muda yang mengaku sebagai pengurus Ikatan Mahasiswa Pelajar Lembor (IMAPEL) Kupang, isinya meminta saya sebagai salah satu narasumber pada kegiatan Masa Penerimaan Anggota Baru (MPAB), dan saya diberi tugas menyampaikan topik: “Who am I?”
Tanpa banyak berpikir saya bilang saja siap, tapi begitu mereka kirim undangan dengan lampiran proposal kegiatan, saya mulai resah karena belum yakin apa bisa menguasai topik yang mereka minta?
Siapa saya sehingga mereka yakin bisa berbicara tentang tema pengenalan diri? Tapi karena sudah diberi kepercayaan, maka saya berupaya menyiapkan diri dengan baik.
IMAPEL Kupang memang bukan baru sekali ini meminta saya jadi pembicara. Sebelumnya sudah beberapa kali dan tiap kesempatan selalu diberi tema yang berbeda-beda.
Saya pernah bicara bagaimana peran anak muda menghadapi masalah HIV/AIDS. Kalau topik ini punya hubungan dengan bidang saya sebagai perawat dan saya cukup banyak melakukan kampanye kesehatan berkaitan dengan salah satu masalah yang masih menjadi tantangan besar buat kita semua itu.
Kali lain, mereka minta saya memberikan motivasi pentingnya mengikuti organisasi bagi mahasiswa. Lalu, pernah bicara tentang strategi penanganan konflik dalam organisasi; analisis SWOT; dan topik lainnya yang mungkin kurang relevan dengan keahlian saya.
Tiap kali dikontak panitia, pada awalnya saya selalu merenung, apakah ini cocok dengan kemampuan saya? Kenapa mereka meyakini saya bisa berbagi pengalaman dan informasi seputar tema ini?
Rasanya ingin berdiskusi dulu dengan panitia soal kepantasan atau kecocokan tema dengan latar belakang pembicara. Sebab di tempat lain, ada yang mewajibkan setiap pembicara itu harus punya sertifikat ini-itu, harus sudah ikut TOT (Training of Trainer), dan segala macam syarat lainnya.
Kemudian saya berpikir, sudahlah, intinya mereka sudah beri kepercayaan saja. Lagian, saya juga menganut prinsip PALUGADA (Apa saja yang kamu butuh, gue ada) dalam proses belajar selama ini. Maka, saya selalu bilang: siap!
Biasanya tiap kali acara itu berlangsung, pada bagian awal saya berupaya bicara sesuai tema yang sudah ditetapkan. Itu pun lebih banyak cerita pengalaman saja, tidak ada teori atau pendapat ahli yang terlalu rumit.
Lalu, ujung-ujungnya saya memotivasi mereka agar lebih banyak membaca selama kuliah, syukur kalau dilanjutkan dengan kesenangan latihan menulis. Dan pada bagian akhir acara, saya biasanya membagi buku kepada penanya yang aktif berdiskusi.
Itu yang biasa saya lakukan sebelumnya, lalu bagaimana dengan tema “Who am I?” ini? Dalam ilmu keperawatan, sebenarnya ada juga topik tentang Konsep Diri yang salah satu bagiannya menjelaskan bagaimana seseorang bisa mengenali dirinya sendiri.
Tapi, saya tidak terlalu suka menyampaikan banyak konsep dan teori, apalagi sasaran saya saat itu adalah mahasiswa baru. Saya yakin mereka akan terkoneksi dengan gagasan saya melalui cerita.
![]() |
| Saverinus Suhardin (Penulis) saat berbagi pengalaman bersama anggota baru Imapel Kupang tahun 2024 |
Sebelum pukul 09.00 WITA pada Jumat, 15 November 2024, saya #JalanPagi ke Oehau, Kabupaten Kupang.
Di sana ada sebuah kebun yang menurut keterangan panitia kegiatan, itu milik SVD. Di tengah kebun ada sebuah bangunan panjang, katanya bekas rumah doa rumah doa, tapi sudah jarang difungsikan.
Meski begitu, tempat itu masih cukup layak untuk dijadikan lokasi acara dan IMAPEL Kupang sepertinya telah menganggapnya sebagai rumah sendiri—tiap bikin acara selama berapa tahun terakhir pasti di situ.
Suasana di Oehau, khususnya di rumah doa SVD itu, memang terasa sejuk dan menenangkan. Banyak pohon tinggi di sekitar gedung dan ada area tanah lapang yang bagus untuk kegiatan luar ruangan.
Secara umum, gedung itu berbentuk memanjang. Entah bagaimana fungsi awalnya, tapi anak-anak IMAPEL membaginya menjadi area kegiatan utama di aula, area tidur bagi peserta, dan ada dapur.
Begitu sampai di sana, saya disambut panitia dan pengurus organisasi dengan kopi hangat. Kami berbasa-basi sejenak sebelum saya disilakan berbagi cerita dengan anggota baru.
Saat itu saya bercerita tentang pengalaman pertama saya tahu ada pertanyaan “Who am I?” waktu kegiatan ret-ret di SMP St. Klaus, Kuwu. Itu sudah berlangsung sekian tahun yang lalu, tapi selalu menjadi kenangan yang indah bagi saya.
Menurut saya, itu salah satu bagian yang saya syukuri bisa sekolah di lembaga pendidikan Katolik yang memiliki agenda pembinaan rohani.
Sebelum tahu ada sebuah acara bernama ret-ret, saya hampir tidak pernah melakukan refleksi diri. Pokoknya hidup begitu saja tanpa ada perenungan. Seperti batu yang menggelinding dari puncak gunung ke lembah yang kelam.
Para suster dari ordo Karmel yang memimpin kegiatan ret-ret itu kemudian memandu saya untuk bertanya pada diri sendiri: siapa saya? Saya, ya, saya!
Begitu awalnya saya merespons, tapi dengan berbagai teknik yang mereka lakukan lewat nyanyian, doa, dan kegiatan berkelompok—pada akhirnya saya bisa mengikuti prosesnya dengan baik.
Saya pun mulai bisa merenungi hidup. Saya pelan-pelan mengenali diri sendiri, meskipun selalu menimbulkan kebingungan baru.
Saya juga bercerita kepada mereka, bahwa masa kecil saya cukup banyak mendapatkan trauma. Entah tanpa sadar dilakukan orang tua dan keluarga sendiri dalam bentuk ancaman, sering dibanding-bandingkan dengan anak lain, atau ancaman dari lingkungan.
Saya masih ingat, dulu ada pemuda di kampung yang suka mengancam atau menakut-nakuti anak kecil. Mungkin maksudnya sekadar bercanda, sebab pemuda itu tampang girang kalau anak yang ia ganggu itu takut dan menangis. Tapi, ia tidak menyadari kalau tindakan perundungan yang ia lakukan atas niat bercanda itu tetap saja menimbulkan luka batin pada anak.
Kabar baiknya, pada acara ret-ret itu ada sesi khusus penyembuhan luka-luka batin. Itu momen di mana kita berupaya mengingat kembali semua trauma itu dalam pikiran, kita rasakan kembali respons emosi ketika mendapatkan perlakuan seperti itu, kita bisa marah dan tangisi semuanya, lalu kemudian memaafkan mereka semua.
Percaya atau tidak, setelah itu saya merasa lebih lega. Seperti manusia baru lagi. Tanpa ada beban masa lalu dan hanya berfokus pada masa kini dan siap menjadi lebih baik pada masa hidup selanjutnya.
Saya bilang ke peserta kegiatan, kalau ada kesempatan ret-ret, coba ikuti karena itu salah satu cara cepat kita bisa mengenali diri sendiri.
Saya bersyukur pernah ikut ret-ret, karena setelah itu saya sudah terbiasa melakukan perenungan. Lalu, selanjutnya bisa dilakukan dalam bentuk doa harian dan aktif dalam berbagai kegiatan Gereja.
Saya juga bercerita, ketika semakin dewasa, saya juga temukan metode lain, salah satunya meditasi. Meditasi sebenarnya bukan untuk merenungi diri, tapi latihan berfokus pada masuk dan keluarnya napas secara perlahan. Tapi, saya biasanya melanjutkan kegiatan meditasi itu dengan merenungi diri sendiri.
![]() |
| Salah satu peserta sedang berbagi pengalaman tentang pengenalan diri |
Masih ada metode lain yang bisa dimaksimalkan untuk mengenali diri sendiri. Apa pun itu, saya menekankan bahwa proses mengenali diri itu tidak hanya sekali-dua kali, melainkan proses yang berlangsung seumur hidup.
Kita juga bisa melakukan beberapa tes psikologis untuk mengetahui diri secara objektif. Tapi ada satu metode yang sangat saya rekomendasikan kepada mereka saat itu, yaitu menulis diari setiap hari.
Tulis semua apa yang menurut kita penting. Entah ide, kejadian menarik, kegelisahan, dan apa pun itu. Menurut orang-orang yang telah melakukan kebiasaan menulis diari secara rutin, aktivitas itu pada akhirnya membuat kita makin mengenali diri sendiri.
Kita jadi tahu apa kelemahan dan kelebihan kita. Biasanya ada anjuran, kalau mau hidup lebih sukses, kita sebaiknya fokus mengembangkan apa yang sudah menjadi kelebihan kita, sehingga hasilnya makin maksimal.
Setiap orang pasti memiliki sisi positif dan negatif. Ketika kita sudah mengenalinya, kita bisa berfokus pada kebiasaan positif dan tanpa sadar kebiasaan negatif akan terlupakan.
Itulah pentingnya mengenal diri sendiri dengan baik, biar kita bisa memutuskan dengan tepat mau apa kita selanjutnya? Kita mau pilih jalan mana yang sesuai dengan potensi masing-masing.
Setelah saya bercerita, beberapa anak langsung memberi respons. Ternyata mereka juga punya pengalaman serupa. Mereka pernah merasa minder dan sering cemas, lalu sedikit tertolong setelah mengikuti ret-ret dan menjalankan kebiasaan positif lainnya.
Saya menganjurkan mereka rutin menulis diari, karena saya pernah melakukannya juga, meski kurang rutin. Tapi sejak 01 Januari 2025 kemarin hingga tulisan ini dibuat, saya sudah rutin menulis catatan harian setiap hari.
Saya sudah memberi saran kepada yang lain, masa diri sendiri tidak ikut melakukannya? Saya yakin saja, bahwa kebiasaan ini sangat baik untuk proses mengenali diri dengan baik.
Proses pengenalan diri ini tidak ada batasnya, harus dilakukan sepanjang hidup. Kita mungkin cepat sekali mengenali orang lain—tahu semua informasi masalah orang lain lewat gosip—tapi kadang tidak mengenali diri sendiri.
Mungkin Anda punya cara lain untuk bisa mengenali diri dengan baik? Kalau ada, sudilah berbagi di kolom komentar. Terima kasih, semoga kita semakin baik dari hari ke hari. Amin.
#JalanPagi
Siapa yang pernah ikut ret-ret dan merasa hidupnya berubah? Atau punya cara sendiri mengenali diri? Cerita dong di komentar — pasti banyak yang lagi butuh baca ini.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar