Mengenang dr. Iswaningsih FK Undana: Kisah Persahabatan, Kelas Menulis, dan Suara yang Tenggelam - SAVERINUS SUHARDIN

Latest

Literasi Keperawatan

Rabu, 03 Desember 2025

Mengenang dr. Iswaningsih FK Undana: Kisah Persahabatan, Kelas Menulis, dan Suara yang Tenggelam

Mengenang dr. Iswaningsih FK Undana

Selama saya kuliah hingga kini menjadi perawat, sudah tentu sering bertemu atau berpapasan dengan dokter, tapi sepanjang interaksi itu hanya sebatas sapa biasa saja tanpa ada percakapan yang akrab.

Dokter yang saya temui rata-rata sibuk, hampir tidak punya waktu berleha-leha karena harus melayani banyak pasien, sehingga memang jarang sekali saya temukan ada yang punya banyak waktu luang. Apalagi saya kurang pandai bergaul dan punya banyak stok rasa sungkan berkenalan dengan orang baru, maka kesan seperti itu semakin menebal.

Tapi, ada satu dokter yang dalam pengalaman saya selama ini begitu supel dan kami bisa berteman cukup lama karena sama-sama senang membaca buku dan coba-coba berlatih menulis.


Saya mengenalnya pertama kali pada Oktober 2018. Waktu itu saya sedang semangat mempromosikan buku "Pada Jalan Pagi yang Sehat Terdapat Inspirasi yang Kuat" di FB. Hampir tiap hari saya membuat pengumuman, seolah-olah buku itu bagus sekali dan penting bagi kemaslahatan peradaban dunia.

Saya agak kurang percaya ketika pada suatu hari, ada yang memperkenalkan dirinya sebagai dokter yang bekerja sebagai dosen di FK Undana sekaligus memberi pelayanan di klinik dan beberapa RS di Kota Kupang, dan ia ingin memesan buku saya itu.

Saya senang sekaligus skeptis. Ini benaran dokter, kah? Ini tidak bermaksud merendahkan atau mengatakan dokter tidak mudah bergaul, tapi dalam pengalaman saya—memang sayanya yang minder atau susah bergaul sehingga tidak mungkin bisa menjalin pertemanan dengan baik—tidak banyak dokter seperti ini.

Meski agak ragu, saya tetap senang karena ada juga buku yang laku. Ia tidak terlalu bertele-tele, setelah tahu harga dan nomor rekening, tahu-tahu bukti transfer masuk di kotak pesan. Saya senang sekali, pada waktu itu bukunya masih dalam masa pra-pesan.

Saya baru bisa mengantar buku itu pada 20 Desember 2018. Saya pergi ke salah satu tempat praktiknya yang bernama Klinik Aisyiyah Kupang. Saya akhirnya benar-benar bisa bertemu langsung dan ia memang benar-benar dokter.

Kami pun foto bersama dengan semua tenaga kesehatan yang ada di klinik itu dan sudah saya tulis juga kenangan itu di FB. Semenjak saat itu, kami mulai banyak berinteraksi di FB.

Saya perhatikan, dokter itu cukup aktif di FB. Ia suka menulis dengan gaya yang luwes, mudah dipahami, dan selalu diselipi candaan. Saya kebetulan suka dengan tipikal tulisan seperti itu.

Ia dokter sekaligus akademisi, sudah tentu punya banyak ilmu dan pengalaman dalam bidang kesehatan. Saya senang ketika ia beberapa kali menulis informasi kesehatan dalam bentuk tulisan yang tentunya kompatibel dengan masyarakat sehat di FB.

Pernah ada satu tulisannya yang sangat viral, yaitu ketika ia mengedukasi dengan gaya berkomunikasi santai kepada pembaca tentang pelayanan di IGD.

Intinya ia menerangkan bahwa tidak setiap orang diperlakukan sama di pelayanan gawat darurat, semuanya tergantung berat–ringan kondisi sakit. Tenaga kesehatan sudah tentu memprioritaskan kondisi berat lebih dahulu, baru kemudian yang ringan-ringan.

Ia sedang menjelaskan prinsip triase pasien, tapi gaya penulisannya unik. Itu jenis tulisan yang tidak saja informatif, tapi juga menghibur pembacanya. Maka tidak heran banyak tangan yang membagikan tulisannya itu, termasuk saya.

Selanjutnya kami pun hanya berinteraksi via media sosial saja. Kami saling merespons tulisan dan sesekali berbagi pengalaman menulis. Lalu ketika saya merilis baju kaos #JalanPagi, ia memesan lagi. Ia membeli satu buku lagi ditambah baju kaos.

Ia bilang, buku dan baju kaos itu dijadikan kado untuk mantan mahasiswa bimbingannya yang kini resmi jadi dokter juga. Ia bilang mahasiswa bimbingannya itu juga senang menulis, namanya: Friyanto Miramangngi.

Saya langsung membungkus pesanan kedua itu pada Februari 2020 lalu, lalu mengirim ke alamat yang berlokasi di Alak, Kota Kupang. Saat itu saya sedang studi di Surabaya, sehingga tidak bisa mengantar langsung sebagaimana biasanya.

Kenangan terakhir bersama dr. Iswaningsih saat Pelatihan Menulis di FK Undana Kupang
Kenangan terakhir penulis (Saverinus Suhardin) bersama dr. Iswaningsih saat Pelatihan Menulis di FK Undana

Selama proses interaksi di FB itu, saya jadi tahu kalau ia juga senang dengan salah satu penulis yang saya suka: Iqbal Aji Daryono.

Saya kenal Mas Iqbal itu juga dari FB, ia suka menulis pengalaman sehari-hari. Itu pengalaman yang tampaknya receh, tapi ketika ia kemas dengan cara menulis yang baik dan unik, enak juga dibaca. Entah kenapa saya suka jenis tulisan seperti itu dan hingga kini terus belajar dan berlatih agar bisa menulis seperti itu.

Maka saya ikuti terus tulisan Mas Iqbal di FB. Ketika ia menerbitkan kumpulan catatan hariannya sebagai sopir truk di Australia, saya ikut membeli dan makin senang dengan gaya tulisan seperti itu.

Ketika saya melihat dokter itu juga berteman atau mengikuti FB Mas Iqbal, saya menduga dokter itu juga senang dengan tulisan Mas Iqbal. Suatu saat saya mengonfirmasinya, ternyata memang benar.

Ia tidak sekadar senang membaca tulisan Mas Iqbal, tapi juga beberapa kali ikut kelas menulis yang diasuh penulis asal Bantul itu. Ia pernah mengajak saya ikutan kelas menulis itu, tapi karena pertimbangan ekonomi yang masih lemah-lembut, saat itu saya bilang biar belajar langsung dari tulisan-tulisan Mas Iqbal yang cukup banyak bertebaran di media daring. Saya yakin, salah satu teknik belajar yang baik adalah langsung melihat/membaca tulisan saja.

Tapi, dokter itu sepertinya hobi berbagi. Ia menawarkan untuk membagikan materi pelatihan menulis itu kalau saya mau. Ya, jelas saja saya mau, meskipun ini mungkin melanggar etika atau aturan dalam kelas penulisan tersebut. Saya mohon maaf, Mas Iqbal.

Saya sudah mendapatkan semua materi pelatihan menulis tersebut. Mulai dari video, audio, teks dalam format PDF, dan file tulisan latihan menulis sang dokter yang telah dikoreksi oleh Mas Iqbal. Saya sudah mempelajarinya sekali, dan menurut saya semuanya bagus.

Ketika suatu hari pada Maret 2022 Mas Iqbal kebetulan ada kegiatan di Kupang, ia menghubungi saya.

"Mau ikutan tidak?", katanya antusias. "Kami rencananya mau ketemu di Kafe Tebing, kalau ada waktu bisa bergabung."

Saya senang sekali dapat kabar seperti itu, tapi waktu itu saya sedang aktif di sebuah organisasi dan pada waktu yang sama sedang ada kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan. Saya akhirnya gagal kumpul bersama mereka.

Tapi, sebenarnya saya sudah bertemu sekali dengan Mas Iqbal sebelumnya. Saat itu saya sedang kuliah S2 di Surabaya dan Mas Iqbal hadir sebagai narasumber pada acara bedah bukunya tentang Bahasa Indonesia di Grha Pena Surabaya. Saya sudah foto selfie juga dengannya saat itu, sehingga tidak terlalu menyesal ketika tidak sempat bertemu lagi di Kupang.

Pada Juni 2022, dokter itu berdiskusi dengan saya perihal menulis juga. Ia sedang memikirkan bagaimana para akademisi kampus (dosen dan mahasiswa) bisa menulis buah pikir atau pengalaman belajarnya untuk dibaca khalayak.

Ia menyadari ilmu kedokteran atau kesehatan secara umum sangat kompleks. Butuh banyak orang yang mau mengolah dan menyajikannya dalam bentuk tulisan populer, sehingga informasi kesehatan bisa menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat. Tapi, bagaimana caranya?

Kami berdiskusi cukup panjang, hingga kemudian mengerucut pada kesimpulan perlu adanya forum untuk meyakinkan pihak-pihak terkait. Tidak lama setelah itu, dokter itu mengabarkan kalau ia menjadi ketua panitia pelatihan menulis di FK Undana Kupang.

Dan yang bikin kaget, saya juga diminta sebagai salah satu narasumber yang membicarakan tentang pengalaman menulis di media massa dan mengelola website.

Saya was-was ketika masuk ke kampus FK Undana kala itu, tidak percaya rasanya bisa jadi narasumber di sana. Begitu tiba, saya langsung mencari dokter itu, lalu kami berfoto selfie yang hasilnya saya lampirkan pada tulisan ini.

Tapi, tunggu dulu, ketika saya menyapa dokter itu, suaranya parau—hampir tak terdengar. Seperti suara robot, tapi kurang jelas dan ia tampak setengah mati kalau bicara.

Saya memberi kode agar ia tidak perlu bicara terlalu banyak. Saya berkomunikasi dengannya via WA saja meski sedang berdekatan.

Saya juga tidak tahu jelas apa sakitnya, tapi ia mengaku baru saja selesai operasi di area tenggorokan—mungkin mengganggu fungsi pita suara—sehingga suaranya tenggelam. Saya ikut prihatin, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Saya hanya bisa memberi semangat dan berdoa yang terbaik buatnya.


Setelah kegiatan pelatihan menulis di FK Undana itu, saya melihat status FB-nya sering berada di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Tampaknya sedang menjalani perawatan kesehatan.

Meski begitu, dari tulisan/status media sosialnya itu, ia masih tetap berusaha gembira. Tulisannya tetap menggelitik dan menghibur. Mungkin ia tidak ingin orang-orang terdekatnya ikut sedih atau terbebani dengan kondisi kesehatannya.

Dan pada 17 Oktober 2024 lalu, saya mendapat kabar dari seorang teman yang juga bekerja di FK Undana dan ia tahu saya berteman juga dengan dokter Iswaningsih, ia bilang dokter itu telah meninggal dunia di Surabaya.

Saya merasa seperti kehilangan buku bagus; buku yang tidak hanya isinya penting, tapi juga disajikan secara memikat. Ia buku kehidupan yang informatif, inspiratif, sekaligus menghibur pembacanya.

Ketika kabar dukacita itu tiba, saya sudah ingin menuliskan sesuatu tentangnya, tapi masih ragu-ragu. Kali ini saya baru bisa memberanikan diri, meski hasilnya hanya sejenis obituari yang apa adanya.

Saya ikut merasa kehilangan dan ingin menyampaikan rasa turut berdukacita kepada keluarga beliau. Semoga Tuhan membalas semua kebaikannya di dunia dan ia mendapat tempat layak dan banyak tulisan menarik di surga. Amin.


Beberapa waktu lalu, di lini masa FB saya ada berita tentang oknum dokter yang melakukan pelecehan/perundungan kepada salah satu mahasiswi keperawatan.

Sebagai perawat, saya sebenarnya ingin ikutan menghujat oknum dokter itu, apalagi ia mengganggu calon perawat yang merupakan profesi yang saya cintai.

Tapi, ketika mau melakukannya, saya teringat akan dr. Iswaningsih dan sejuta dokter lain yang baik-baik di luar sana. Jadi, buat apa lagi saya ikut merundung?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar