Tugas Gembala: Kenangan Masa Kecil Menjadi Peternak Sapi di Kampung - SAVERINUS SUHARDIN

Latest

Literasi Keperawatan

Selasa, 02 Desember 2025

Tugas Gembala: Kenangan Masa Kecil Menjadi Peternak Sapi di Kampung

Sapi di padang


Tiap kali #JalanPagi saya sering melihat sapi dan tiap kali setelah melihat sapi, kenangan masa kecil seputar sapi perlahan berhamburan dari memori.

Iya, pernah pada suatu masa di mana saya dan sapi itu bagaikan sahabat yang banyak berinteraksi. Masa pertumbuhan saya selama pendidikan dasar dan menengah lebih banyak ditemani sapi. Mereka pun saya temani hingga berkembang biak dengan baik.


Ingatan saya sudah agak samar-samar bagaimana awal mulanya itu terjadi. Sejauh saya berusaha mengingat, waktu itu mungkin saya belum masuk SD, bapa saya menerima kedatangan 2 pasang sapi, jantan dan betina.

Saya hanya tahu sapi itu diambil dari Opa Pue, orang tua dari mama saya. Saya tidak mengerti bagaimana perubahan status kepemilikan sapi-sapi itu, tapi sejak saat itulah bapa saya menekuni pekerjaan baru: gembala sapi.

Di beberapa kesempatan, bapa saya sering bercerita tentang masa kecilnya yang tidak jauh-jauh dari urusan berternak. Ia bercerita, ibunya yang biasa kami panggil Ende Moni sangat tegas membagi tugas kerja kepada anak-anaknya dan bapa saya sering mendapat amanah mengurusi ternak: kerbau dan kuda.

Bapa saya menceritakan itu berulang-ulang. Katanya, Ende Moni tidak segan memukul betis dan bokong anak-anaknya yang bandel atau tidak disiplin menjalankan tugas.

Entah apa maksud ia sering bercerita seperti itu, tapi tanpa sadar saya akhirnya menjadi salah satu asistennya yang setia mengurusi sapi-sapi itu.

Mulai dari urusan sederhana, misalnya, memukul pantat sapi yang kepala batu ketika ditarik oleh bapa saya ke suatu tempat tertentu.

Sebagai pemula, saya perhatikan bapa saya terlihat amatir menangani sapi-sapi itu. Saya jadi ragu dengan cerita tentang masa kecilnya yang sering mendapat tugas mengurusi ternak dari ibunya.

Sebab di masa awal berternak sapi, ia sering berguru pada tokoh-tokoh sepuh di kampung kami yang berpengalaman berternak berbagai jenis hewan, termasuk sapi.

Saya perhatikan, bapa saya belajar dari mereka cara mengikat tali; cara melubangi hidung sapi sehingga bisa ditali dengan mudah; cara membuat sapi lebih jinak dan menurut pada tuannya; dan berbagai ilmu persapian lainnya.

Mereka, tokoh-tokoh sepuh itu, tentu saja tidak mengenyam pendidikan formal. Tapi soal pengalaman dan keterampilan mengurusi hewan ternak, mereka sangat mahir dan terlihat otoritatif. Sangat wajar kalau bapa saya yang amatir pada saat itu belajar langsung pada para suhu tersebut.

Ketika ada situasi genting dan bapa saya belum menguasai baik-baik teknik penanganannya, ia segera menyuruh saya untuk memanggil salah satu dari suhu tersebut. Itu salah satu tugas saya pada masa awal, yakni menjadi penghubung komunikasi antara bapa saya dengan orang-orang yang kiranya bisa menolong.

Setelah saya bertumbuh lebih kuat, deskripsi pekerjaan yang saya bantu makin bertambah. Saya mulai terlibat memindahkan sapi ke hamparan rumput, lalu siang hari memindahkan sapi-sapi itu ke tempat yang teduh sekalian memberi mereka air minum, kemudian sore harinya memindahkan mereka ke tempat yang aman sekaligus tetap berumput segar.

Ketika saya makin besar lagi, penugasan makin bertambah. Profesi utama bapa saya sebenarnya guru SD dan karena ada penugasan ia sering pergi ke kota kecamatan. Nah, saat seperti itu, saya mendapat tanggung jawab besar untuk memastikan semua sapi-sapi dalam keadaan aman.

Ia sering mengajari saya seputar teknik berternak sapi. Menurutnya, mengurus sapi jauh lebih mudah daripada hewan ternak lainnya.

Mama saya juga mengisi waktu luang dengan berternak babi, tapi menurut bapa saya berternak babi itu rumit. Lebih baik urus sapi, gampang. Babi itu suka menjerit-jerit kalau lambat diberi makan.

Bapa saya memberi tutorial mengurus sapi. Ia bilang, asalkan kita bisa mengikat sapi di padang yang berumput hijau. Kita juga perlu memperhatikan apakah lingkungan di sekitarnya mudah membuat tali sapi terbelit atau tidak?

Selama sapi bisa makan bebas dan tidak terbelit, lanjut bapa saya, maka sapi-sapi itu akan aman-aman saja.

Pelajaran kedua, bapa saya menekankan bahwa sapi tidak bisa tahan terlalu lama di bawah terik matahari. Karena itu, ia menyarankan agar menjelang pukul 11 atau 12 siang, kita perlu mengecek apakah sapi itu berada di bawah naungan pohon yang dingin atau menderita kepanasan?

“Sapi bisa cepat mati kalau terlalu panas,” pesan bapa saya.

Ia menambahkan, sapi-sapi akan senang kalau pada siang hari seperti itu langsung diberi air minum. Setelah matahari agak kalem sekitar pukul 14 atau 15, barulah dipindahkan lagi ke padang yang berumput hijau lagi.

Saya berupaya menerapkan ajaran bapa saya itu, terlebih kalau ia sedang bertugas ke kota atau ada urusan keluarga di tempat yang jauh.

Ketika dua kakak saya merantau untuk bersekolah ke tempat yang jauh, nyaris hanya saya yang mengurusi sapi-sapi itu.

Awalnya sapi itu hanya 2 ekor, tapi seiring saya bertumbuh dan mendapat banyak penambahan tugas, sapi itu telah berkembang menjadi belasan ekor, bahkan pernah tembus 20-an ekor.

Memang jumlah sapi itu fluktuatif. Tiap tahun, sapi betina pasti beranak. Dan kalau sapi jantan sudah cukup besar, biasanya juga langsung dijual ke salah satu saudagar di kota kecamatan. Jadi, ada yang datang dan ada juga yang pergi.

Semakin lama, seiring bertambahnya usia, saya lumayan mahir merawat sapi-sapi itu. Saya bahkan bisa menerapkan keterampilan menjinakkan sapi yang saya simak dari para suhu di kampung kami ketika mereka mengajari bapa saya.

Saking dekatnya saya dengan sapi itu, ada satu-dua sapi yang bisa saya tunggangi. Menurut orang itu tidak lazim. Biasanya kerbau dan kuda yang dijadikan hewan tunggangan, tapi sapi kami waktu itu ada yang sejinak itu.

Pengalaman itulah yang membuat saya menaruh hormat kepada para suhu ternak yang ada di kampung kami. Dan saya makin kagum lagi ketika suatu hari, salah satu sapi kami raib dari tempat ia diikat.

Bapa saya sudah menyisir seluruh area yang mungkin dilewati sapi malang itu, hasilnya nihil. Ia kemudian menyuruh saya untuk meminta bantuan ke salah satu suhu. Mereka kemudian bertemu dan sejak saat itu tiba-tiba bapa saya merokok.

Ternyata ilmu suhu itu dirapalkan melalui media rokok. Ia kemudian meminta bapa saya kembali menyisir setiap area yang mungkin dilewati sapi tersesat itu. Ia juga berpesan, tiap kali bertemu dengan laki-laki dewasa, luangkan waktu bercerita sambil berbagi rokok, lalu ceritakan bahwa kita sedang mencari sapi.

Bapa saya mengikuti arahan suhu tersebut, dan tidak lama berselang, sapi yang sudah hilang 3 hari itu ternyata terbelit di hutan kecil dekat sungai di kampung kami. Begitu mendengar kisah itu, saya makin hormat dengan ahli ternak itu. Benar-benar suhu.


Banyak pengalaman suka-duka selama saya ikut membantu bapa saya merawat sapi. Hingga ketika saya masuk SMP yang cukup jauh dari kampung, saya istirahat dari tugas gembala tersebut. Tapi kalau sedang libur, saya kembali ikut merawat sapi.

Ketika saya kelas 1 SMA, saya merasa sekolah dan wajib tinggal di asrama sebagai siksaan. Karena itu saya sering bolos yang pada akhirnya membuat saya berhenti sekolah.

Saat pulang ke rumah, bapa dan mama saya marah-marah. Tapi saya tetap mantap dengan keputusan sendiri untuk berhenti sekolah. Saya malas sekolah.

“Jadi gembala sapi sudah kalau begitu,” kata bapa saya setelah bosan marah-marah, “bila perlu cepat cari istri sudah.”

Saya terima usulannya yang pertama, jadi gembala sapi saja. Jadilah saya remaja putus sekolah yang tinggal di kampung dan fokus menjadi gembala sapi.

Awalnya saya masih rindu sekolah, lebih tepatnya rindu dengan pacar saya yang cantik dan suka memberi hadiah. Tapi, sudahlah, saya segera melupakannya. Ia tidak mungkin tertarik dengan seorang gembala sapi.

Setelah itu, saya mulai nyaman lagi mengurusi sapi-sapi itu. Tiap sore, ketika sapi sibuk mengunyah, saya duduk di sebuah batu ceper sambil mengisap rokok Djidtoe. Saat-saat seperti itu saya biasanya menghayal menjadi peternak sukses.

Ketika bayangan sukses sebagai peternak sapi makin subur di pikiran saya, kadang saya bertanya: buat apa sekolah susah-susah kalau beternak sapi saja sudah enak? Saya makin mantap ingin jadi gembala sapi sebagai jalan hidup hingga tua.

Kurang lebih 6 bulan kemudian, bapa saya yang baru pulang dari kota tiba-tiba memberi kabar: esok kau masuk sekolah lagi, saya sudah urus pindah sekolah dan daftar ulang di sekolah baru.

Saya sebenarnya ingin tolak, sebab saya sudah mantap jadi peternak sapi. Tapi, saya juga tidak berani melawan bapa saya.

Ketika saya mantap dengan keputusan menjadi gembala sapi, bapa saya malah ingin saya menggembalakan hal lain.

#JalanPagi

Siapa lagi yang pernah merasakan “tugas gembala” masa kecil? Atau malah ada yang beneran jadi peternak sapi sekarang? Cerita dong di komentar, pasti banyak yang senyum baca ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar