Setiap tulisan memiliki nasibnya masing-masing hingga ke mata pembaca, sehingga tugas penulis cukup menulis sampai urusan publikasi selesai, sedangkan urusan distribusi dan dampaknya sudah di luar kendali.
Kurang lebih begitu salah satu ungkapan penghiburan yang sering saya dapatkan ketika awal-awal belajar menulis. Tentu saja kalimat itu memotivasi saya untuk berani mulai menulis, meski hasilnya sering kali mengecewakan.
Saya juga masih ragu dengan kebenaran ungkapan tersebut. Kadang saya merasa yakin, apalagi kalau para penulis atau mentor menulis itu mencontohkan J.K. Rowling yang beberapa kali mendapatkan penolakan penerbit, tapi pada akhirnya naskah Harry Potter yang ia tulis bernasib baik hingga meledak di pasaran buku seluruh dunia.
Pada waktu yang lain, saya juga merasa kurang yakin. Saya berpikir, itu sekadar akal-akalan guru menulis saja agar peserta kelas mereka atau pembaca mereka juga berani mencoba menulis.
Jadi, saat itu saya merasa antara percaya dan tidak dengan ungkapan tersebut, hingga mengalami sendiri pengalaman berikut ini.
Menjelang akhir tahun 2018, saya mulai merencanakan untuk melanjutkan studi S2 Keperawatan. Saat itu saya telah bekerja di kampus dan orang-orang kadang memanggil saya "Pak Dosen" padahal syarat minimal sebagai dosen pun belum saya peroleh.
Karena itu, saya tertekad untuk segera mendaftar ke Prodi Magister Keperawatan FKp Unair. Ada banyak syarat yang tertera pada website pendaftaran, salah satunya: calon mahasiswa harus memiliki proposal penelitian tesis.
Sependek yang saya tahu saat itu, proposal penelitian yang baik itu mesti mengusung tema yang sesuai dengan tren masalah di masyarakat. Dan stunting ketika itu menjadi kata yang sangat akrab berpasangan dengan NTT.
Karena itu, saya segera menetapkan stunting sebagai topik umum, tinggal mencari apa kesenjangan penelitiannya, sehingga memenuhi unsur "novelty" atau kebaruan pada penelitian tersebut.
Berdasarkan langkah penelitian yang saya baca, tahap pertama yang dilakukan saat itu adalah melakukan penelusuran data hasil penelitian yang sudah ada terkait stunting. Saya mesti tahu semua, apa saja yang telah diteliti oleh ilmuwan sebelumnya. Lalu saya melakukan analisis, kira-kira bagian apa yang masih kurang?
Jika saya ingin berkontribusi untuk ikut menyelesaikan masalah tersebut, maka setidaknya memberi dampak atau mengisi kekurangan data dan informasi yang masih kurang. Saya mesti berkontribusi menutupi kesenjangan hasil penelitian yang telah ada tersebut.
Saya tentu saja berupaya semaksimal mungkin, tapi saya merasa semua hal atau subtopik dari masalah stunting itu telah diteliti dan dituliskan oleh banyak orang di seluruh dunia. Apa saya punya?
Setelah berproses cukup panjang, pada akhirnya saya berpikir, selama ini sudah banyak intervensi atau tindakan penanganan dari pemerintah untuk menangani masalah itu—tapi kenapa tidak kunjung selesai?
Saya merasa perlu menggali data dan informasi dari sisi penderita; apa yang mereka pikirkan dan apa yang mereka lakukan ketika tahu anak mereka dinilai stunting? Apakah mereka menganggap stunting itu sebuah masalah? Seberapa besar upaya yang mereka lakukan secara mandiri untuk mengatasi masalah tersebut atau pasrah tergantung apa kata pemerintah saja?
Ada banyak pertanyaan lain yang muncul di kepala ketika itu, hingga akhirnya saya memutuskan untuk melakukan penelitian kualitatif. Saya ingin menggali bagaimana pengalaman keluarga merawat anak dengan stunting di Timor, NTT.
Proposal penelitian itu saya bawa dan tunjukkan kepada pewawancara saat seleksi S2 Keperawatan di Unair. Pewawancara sempat menanyakan beberapa hal dan saya langsung menjawab, tapi ia tidak mengatakan proposal itu bagus atau jelek. Intinya, saya akhirnya diterima sebagai mahasiswa baru di sana.
Saya mulai kuliah pada September 2019. Saat ada tugas dari mata kuliah metodologi penelitian, saya tetap menggunakan proposal penelitian itu.
Dosen kami menganjurkan agar setiap topik perkuliahan langsung diimplementasikan dalam rencana riset masing-masing dan saya tetap konsisten membawa ide masalah stunting itu.
Selama satu semester mengikuti mata kuliah itu, proposal penelitian saya itu makin mantap karena telah direvisi sana-sini, sesuai dengan apa yang kami pelajari saat kuliah.
Maka ketika dari bagian administrasi prodi meminta kami memasukan tema penelitian agar mereka bisa menetapkan dosen pembimbing yang sesuai dengan kepakarannya, saya makin yakin dengan rencana penelitian stunting itu. Saya makin percaya diri dengan ide tersebut.
Tidak lama kemudian, pandemi COVID-19 mengguncang seluruh dunia. Kita semua telah tahu soal itu dan kampus kami menetapkan pelaksanaan kuliah dilakukan secara daring. Saya kembali ke Kupang dan menjalani sisa masa kuliah dari rumah.
Karena ada pembatasan sosial berskala besar (PSBB), maka rencana penelitian yang dirasa sudah mantap itu pada akhirnya sulit diterapkan. Saya berdiskusi cukup panjang dengan pembimbing, hingga akhirnya saya mengubah topik dari urusan stunting ke urusan COVID-19.
Saya akhirnya membuat tesis seputar pengalaman keluarga merawat penderita COVID-19 di rumah dan penelitiannya dilakukan di Kota Kupang. Proposal penelitian stunting ditinggalkan begitu saja, ia mendekam dalam folder laptop.
Saya menyelesaikan studi S2 pada akhir tahun 2021 dan ikut wisuda secara online dari Kupang. Awal tahun 2022 saya kembali masuk bekerja, lalu mengurus beberapa administrasi untuk mendapatkan NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional).
Setelah mendapat NIDN, tahun 2023 saya bisa mengajukan hibah Penelitian Dosen Pemula (PDP) di Kemenristekdikti. Tapi, apa yang bisa saya teliti?
Ketika sedang bingung dan terdesak oleh batas waktu, saya tiba-tiba teringat dengan proposal stunting yang telah cukup lama nyenyak dalam laptop. Saya buka kembali, lalu mengajak beberapa dosen dan mahasiswa untuk berkolaborasi.
Kami mendiskusikan kembali topik rencana penelitian itu dan merevisi sesuai kondisi terkini. Kami juga membedah bentuknya sesuai ketentuan dari pemberi atau penyedia dana penelitian. Setelah agak mantap, kami unggah di aplikasi BIMA.
Puji Tuhan, proposal penelitian itu akhirnya mendapat pendanaan. Kami senang dan langsung melakukan penelitian di beberapa lokasi di Kota dan Kabupaten Kupang.
Salah satu dampak langsung yang diterima oleh keluarga partisipan penelitian itu adalah, mereka menerima bingkisan sebagai bentuk penghargaan atas waktu yang mereka luangkan selama penelitian berlangsung, berupa beras dan telur. Ketika melihat ekspresi mereka menerima bingkisan tersebut, saya berpikir proposal penelitian yang dulunya hampir tidak berguna itu pada akhirnya punya dampak juga.
Penelitian selesai, kami lanjutkan melakukan analisis data. Kami beli lisensi N-Vivo teranyar untuk mengolah data kualitatif tersebut, lalu menyusun hasilnya dalam bentuk artikel yang siap diterbitkan di sebuah jurnal ilmiah.
Setelah kami kirim ke redaksi jurnal itu, beberapa hari kemudian langsung mendapat catatan revisi dari dua orang penilai. Kami segera melakukan perubah dan mengirim kembali ke sistem OJS jurnal tersebut.
Beberapa hari kemudian, ada lagi revisi baru, mungkin dari tim penilai yang lain. Anjuran mereka lain lagi dan kami tetap berupaya mengikuti semua saran baik tersebut.
Begitu seterusnya hingga revisi yang kelima. Saya pikir nanti sudah beres, ternyata masih ada lagi revisi berikutnya. Dan yang bikin saya jengkel secara pribadi, ada anjuran revisi yang bertentangan lagi dengan catatan revisi pertama.
Saya mulai jengkel dan langsung mengirim pesan ke editornya. Saya bilang, kalau memang naskah kami ini tidak layak, kami ikhlas untuk coba terbitkan di jurnal lain.
Editornya langsung menelepon saya. Ia bilang naskah itu pasti terbit, tinggal ikuti saja proses revisinya. Saya bilang iya saat ditelepon, tapi saya tidak melakukan revisi hingga waktu yang lama. Saya frustrasi dan malas melakukan apa-apa.
![]() |
| Ini salah satu bukti kalau publikasi tersebut telah disitasi oleh peneliti lain |
Setelah sekian lama dan pemberi dana menuntut apa luaran dari penelitian kami itu, pada akhirnya kami coba mengajukan ke jurnal lain. Kali ini prosesnya lumayan lancar dan artikel itu akhirnya bisa diakses publik melalui tautan ini: https://ukinstitute.org/journals/2/jchs/article/view/86
Tidak lama setelah artikel itu dipublikasi, suatu hari saya mendapat surat elektronik dari peneliti luar negeri bernama Judi Aubel.
Intinya ia memberi apresiasi atas artikel yang kami publikasi, sebab ternyata isinya bersinggungan dengan program yang ia lakukan di Grandmother Project – Change through Culture. Semua aktivitas mereka terdokumentasi di http://www.grandmotherproject.org/
Judi kemudian memberikan beberapa artikel yang punya kemiripan tema dengan artikel kami. Penelitian dia juga berfokus pada budaya keluarga yang memengaruhi keputusan ibu atau remaja putri dalam urusan kesehatan.
Kami tentu saja senang disapa seperti itu oleh Judi. Setidaknya hasil penelitian kami itu telah dianggap penting oleh orang lain di luar sana. Dan semoga suatu saat bisa menjalin kerja sama dengan Judi bersama timnya di Senegal.
Dan baru-baru ini, artikel kami itu telah disitasi oleh satu peneliti lain yang menerbitkan artikelnya di Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta. Sitasi bisa menjadi salah satu tolok ukur artikel penelitian kami itu sudah berdampak, setidak-tidaknya telah dipercaya oleh peneliti lain.
Sejauh ini, nasib tulisan atau artikel penelitian kami itu sudah lumayan baik. Kita tidak tahu bagaimana lagi nasibnya ke depan. Apa pun itu, saya mulai yakin dengan ungkapan awal tadi: setiap tulisan memiliki jalan nasibnya masing-masing.
Semoga tulisan ini pun bernasib baik, setidaknya bisa sampai ke Anda. Dan Anda mulai berpikir untuk menulis juga dan yakin tulisan itu akan bernasib baik pula.
Salam #JalanPagi: kita semakin sehat, kuat, bersemangat, dan bermanfaat!




Tidak ada komentar:
Posting Komentar